Sabtu, 15 Agustus 2009

Asuransi

Latar Belakang

Asuransi yang merupakan :
Salah satu sektor pembangunan yang sedang mendapat perhatian besar dari pemerintah.
Sektor pembangunan yang sangat potensial untuk dapat diintegrasikan dengan kehadiran teknologi informasi.
Kualitas manajemen dalam mengelola perusahaan sangat menentukan kemajuan perusahaan.


Tahap ekonomi era globalisasi berdasar kepada:
 pengetahuan (knowledge based)

 berfokus pada informasi (information focused)

 sehingga telekomunikasi dan informatika memegang peranan sebagai teknologi kunci (enabler technology)

Berbagai jenis yang berbasis pada teknologi ini dikenal dengan:
 E-Government
 E-Commerce
 E-Education
 E-Medicine
 E-Laboratory
 dan lainnya, yang kesemuanya itu berbasis pada SIM

Dengan memanfaatkan teknologi informasi, kita dapat:
 Meningkatkan Kinerja
 Mempercepat Berbagai Kegiatan
 Menghasilkan Informasi Yang Cepat, Tepat Dan Akurat
 Meningkatkan Produktivitas.

Langkah-langkah dalam merealisasi Sistem Informasi Manajemen Asuransi, diantaranya:
 Pemanfaatan Sistem Informasi Manajemen asuransi secara menyeluruh.
 Analisa kebutuhan aplikasi pada setiap bagian /unit kerja.
 Analisa kebutuhan dan penempatan perangkat keras/ komputer di setiap client unit.
 Menyiapkan kebutuhan perangkat keras/ komputer untuk client unit.
 Menyediakan dan melakukan pemeliharaan jaringan informasi asuransi
 Menyediakan dan melakukan bimbingan penggunaan aplikasi untuk 15 kantor cabang
 Pemeliharaan dan pengembangan aplikasi.
 Pengembangan sumberdaya tenaga khusus IT.
 Mengevaluasi sistem informasi asuransi.

Selasa, 11 Agustus 2009

REVOLUSI PENDIDIKAN INDONESIA

REVOLUSI PENDIDIKAN INDONESIA


“Kita tidak bisa memiliki pendidikan tanpa Revolusi, Kita telah mencoba Pendidikan Damai selama seribu sembilan ratus tahun. Mari kita coba revolusi dan kita lihat apa yang dapat dilakukan sekarang !!!”
- Hellen Keller -




Memasuki tahun ajaran baru, senyuman bahagia nampak dari wajah-wajah polos tunas-tunas bangsa terutama bagi mereka yang telah diterima di sekolah atau PTN favorit di kotanya atau bahkan di

Indonesia

. Jerih payah masalalu sudah terlupakan dan menjadi kenangan manis untuk merangkai cita dan impian di masa depan. Kebahagiaan terdalam juga dirasakan oleh orangtua siswa/siswi, melihat buah hatinya dapat memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah negeri /PTN favorit di

Indonesia

. Namun kebahagiaan itu harus bertekuk letut pada realitas yang ada. Krisis moneter 1998 yang lalu masih menyisakan permasalahan yang terus menghantui dunia pendidikan di

Indonesia

. Garis liner yang dijejalkan kaum kapitalis bahwa Pendidikan erat dengan kualitas dan kualitas identitik dengan kata mahal masih menjadi opini yang dimaklumi dimasyarakat, belum lagi masalah kurikulum dimasuki kepentingan politik dan kekuasaan, sistem pendidikan yang tidak jelas falsafah, tujuan, sistem, metodologinya dan menejemen pendidikan yang tidak ditangani dengan professional, semua itu menambah suramnya dunia pendidikan di Indonesia. Proses berbanding lurus dengan hasil. Jika prosesnya buruk, jangan pernah berharap mendapatkan hasil yang baik kecuali mengharap datangnya mukzizat dari Tuhan. Hasil dari pola pendidikan semerawut khas gaya Indonesia hanya mampu menghasilkan generasi ‘kacung’ dengan daya kualitas SDM yang semakin turun, daya saing yang rendah dan mentalitas yang lemah. Refleksi dari ini semua adalah sebuah bentuk keprihatinan yang mendalam bagi dunia pendidikan di

Indonesia

.




Menilik sejarah pendidikan

Indonesia

sejak zaman sejarah hingga saat ini ternyata pola “sejarah selalu berputar” kian nyata dan realitasnya dapat dilihat saat ini. Pada masa raja-raja berkuasa, hanya calon raja-raja dan bangsawan yang berhak mengenyam pendidikan untuk bekal mereka dalam memerintah negeri. Pendidikan menjadi sesuatu yang sangat berharga pada masa itu meskipun pendidikan yang dimasud hanya berorientasi untuk meningkatkan kekuatan fisik dan pengelolaan administrasi negara dalam ruang lingkup yang masih sangat sederhana. Hal ini terulang kembali pada masa penjajahan. Pada masa Belanda berkuasa di Indonesia Kelas social di bagi tiga yaitu Kelas bangsa Asing-Eropa, Kelas Bangsa Asia-Timur tengah dan yang menempati kelas terbawah adalah bangsa Pribumi Hindia Belanda. Hanya anak-anak Asing-Eropa dan bangsawan yang dapat menikmati pendidikan sedangkan rakyat jelata harus menerima takdir sebagai kaum yang lemah, tertindas dan tak berpendidikan. Kesadaran bahwa Pendidikan dapat memajukan suatu bangsa mulai dirasakan R.A Kartini dan teman teman sejawatnya. Secara intuitif beliau menyadari bahwa bangsa yang mandiri dapat terbentuk jika Ilmu pengetahuan dapat dikuasai. Atas dasar itulah beliau dengan dorongan dari saudari-saudarinya mendirikan sekolah gadis yang khusus diperuntukkukan untuk perempuan yang pada masa itu sangat dibedakan haknya daripada pria. Kartini tidak hanya sebagai sosok feminist yang membela hak perempuan tetapi lebih dari itu beliau sebagai orang pertama yang menyadari pentingnya pendidikan untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya. Jejak beliau diteruskan oleh Suryadi Suryaningrat atau kihajar Dewantara dan Dowes Dekker. Dengan membuka sekolah umum bagi rakyat jelata berharap pendidikan dapat membuka cakrawala berfikir dalam bertindak dan bertingkahlaku. Kesadaran untuk merdeka seutuhnya dan ketidak inginan tertindas oleh bangsa lain serta kesadaran politik yang tinggi perlahan akan timbul dalam suatu bangsa yang terus menerus meningkatkan pendidikannya. Hasilnya muncul manusia-manusia yang kelak dapat membangun sebuah gerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan

Indonesia

.


Sejarah masa lampau

Indonesia

telah membuktikan kontribusi pendidikan dalam mencapai kemerdekaan. Yah….memang pendidikan seharusnya seperti matahari yang menyinari bumi, menghangatkan jiwa-jiwa kosong tak berarti menjadi jati diri yang kuat dan mandiri. Tapi yang sesungguhnya terjadi di tanah air kini, sebuah wajah pendidikan yang dilukiskan dalam penampakan yang suram, terselebung kepentingan & keegoisan dan terkandung keserakahan serta Pemerasan. Cita-cita untuk ‘tinggal landas’ pada 2010 nampaknya pupus sudah menjadi ‘tinggal di landasan’ mengingat SDM yang semakin turun kualitasnya bahkan menurut IMD (2000) Indonesia memasuki peringkat ke 45 dari 47 negara dalam daya saing, sungguh menyedihkan!


Sejak krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1998 silam, program wajib belajar 9 tahun makin terlupakan ataukah sengaja dilupakan mengingat banyak sektor diluar pendidikan harus dibangun. Anggaran untuk pendidikan hanya dianggarkan 13,6 triliun atau sekitar 4 % dari anggaran APBN padahal untuk mencapai pendidikan yang murah dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia setidaknya diperlukan 20 % dari APBN untuk anggran pendidikan. Akibatnya dapat dirasakan hingga saat kini yaitu biaya pendidikan yang semakin mahal. Fakta membuktikan 42 % SD mahal, 45% pendidikan di SMP/SLTP mahal dan 51 % pendidikan di SMU tergolong mahal (kompas,Juni 2003) dan sudah pasti pendidikan tinggi jauh lebih mahal. Apakah pendidikan yang berkualitas mesti mahal? Semua yang kompleks bisa disederhanakan jika pemerintah bekerja dengan hati dan otak bukan dengan nafsu! dan anehnya trend mahal menjadi suatu pemakluman masal. Opini ini sengaja di bentuk oleh kaum kapitalis yang ingin merambah ke dunia pendidikan. Hasilnya hanya segelintir orang yang dapat mengenyam pendidikan itupun hanya berhasil mencetak generasi ‘kacung’ sedangkan sisanya menjadi kaum proletar abad 21 yang bersiap untuk ditindas zaman. Inilah pola ‘sejarah selalu berputar’. Jika hal ini terus berlanjut bersiaplah menghadapai proses pemiskinan global di Indonesia.

Pendidikan merupakan Investasi. Hal ini sudah disadari perancis setelah masa Revolusi bahwa semua warga mempunyai hak yang sama dalam pendidikan dan pendidikan ditangani langsung oleh pemerintah sehingga membuka kesempatan bagi semua warga untuk memperuleh pendidikan. Jepang dengan Restorasi Meji sesudah Perang dunia II. Setelah perang tersebut, reformasi pendidikan diterapkan dan bertujuan untuk membangun masyarakat yang demokratis, meniru sistem pendidikan Amerika Serikat. Konstitusi baru Jepang menetapkan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan dasar pendidikan untuk menjalankan reformasi ini. Contoh keberhasilan negara-negara tersebut dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan tidak terlepas dari komitmen pemerintahnya sejak awal dan terus berkelanjutan.

Kembali kita melihat kembali wajah pendidikan

Indonesia

saat ini. Jika ditinjau dari falsafah, tujuan hingga metodoliginya

Indonesia

sama sekali tidak mempunyai itu semua apalagi komitmen dari pemerintah, hasilnya pendidikan di

Indonesia

tidak terarah dan mudah rapuh. Tidak terarah, karena tidak mempunyai tujuan yang jelas. Realias yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa orang mendapatkan pendidikan untuk sekolah bukan berpendidikan untuk mempertahankan hidup. Paradigma ini mendorong seorang anak terasing dari lingkungan sosialnya dan mebuat anak hanya dapat menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sudah ditaur tidak menjadi seseorang yang kritis dan memecahkan persoalan dirinya dan masyarakatnya sesuai denagn lingkungan tempat dia berada. Mudah rapuh, Sistem pendidikan

Indonesia

tanpa tujuan dan falsafah dasar dapat menjadi rapuh. Mudah dimasuki pihak-pihak yang berkepentingan. Contohnya jelas terlihat dari Liberalisasi Pendidikan yang tawarkan oleh IMF. Saran ini bukan menjadi obat justru menjadi racun bagi dunia pendidikan di

Indonesia

. Dengan menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga otonomi menyebabkan banyaknya peluang pihak swasta untuk mengeruk keuntungan di bidang pendidikan. Hasilnya pendidikan menjadi komuditas seperti layaknya cabai atau bawang di pasar. Dalam pasar terjadi jual beli, semakin mahal maka semakin bagus kualitas barangnya dan ini terjadi di dunia pendidikan saat in. Lelang kursi PTN favorit di legalkan, jual beli gelar sudah menjadi hal biasa, uang pangkal yang semakin meningkat setiap tahunnya terus dilakukan. Melihat kacaunya dunia pendidikan di

Indonesia

lantas kita bertanya, di mana peran Departemen Pendidikan Nasional yang konon katanya sebuah lembaga yang mengatur pendidikan di

Indonesia

? Dimana pula komitmen pemerintah untuk mengatur ini semua?. Sesuai denagan pasal 31 UUD bahwa kewajiban pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar bagi setiap warga dan pasal 31(2) bahwa pemerintah dan DPR memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 %. Maka pemerintah melalui kebijakannya bertanggung jawab atas ini semua!

Hanya ada dua kata “Revolusi Pendidikan”. Revolusi ini dilaksanakan oleh objek dan subjek pelaku pendidikan. Momen pemilihan presiden RI saat ini sangat tepat untuk menyodorkan ide Revolusi Pendidikan. Hendaknya dibuat Lokakarya Nasional yang melibatkan perwakilan tokoh pendidikan, pelaku pendidikan dan penikmat pendidikan dari seluruh wilayah

Indonesia

dengan tema besar yaitu “Revolusi Pendidikan”. Tujuan dari lokakarya nasional ini jelas untuk menjawab segala persoalan di bidang pendidikan yang hingga kini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Masalah tersebut berkisar pada dasar, tujuan metodologi,sistem, kurikulum samapai pembiayaan pendidikan dari tingkat pusat hingga daerah terpencil. Hasil keputusan Lokakarya ini disodorkan sebagai rekomendasi untuk dijalankan oleh pemerintahan yang baru.


Ilmu pengetahuan menentukan peradaban suatu bangsa. Kemajuan Ilmu Pengeathuan ditentukan proses berjalannya pendidikan. Dan Pendidikan yang murah, meata dan Berkeadilan bagi seluruh Rakyat adalah jawabannya

Depok

2004

PENDIDIKAN DI INDONESIA: BEBERAPA CATATAN AKHIR TAHUN 2007

PENDIDIKAN DI INDONESIA: BEBERAPA CATATAN AKHIR TAHUN 2007
Posted by: Ahmad Rizali

Keterpurukan pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia publik dan rangkaian permasalahanpun seolah olah tidak pernah habis dibincangkan. Belum usai soal kecurangan Ujian Nasional, masyarakat dikejutkan lagi dengan beban wajib pembelian buku yang masih terjadi dikota besar, meskipun sudah dilarang dengan Peraturan Mendiknas. Kita dikejutkan pula dengan adanya hiruk pikuk sertifikasi Guru dan uji publik RUU Badan Hukum Pendidikan. Sekalipun demikian, masyarakat belum melihat dengan jelas, apa cetak biru pemerintah untuk menanggulangi persoalan yang menggunung itu, harapan agar pendidikan menjadi lebih baik belum terjawab.

Sebagai praktisi pendidikan yang berlatar belakang bidang teknik,penulis dan jejaring aktivis pendidikan merangkum persoalan strategis pendidikan di Indonesia dalam beberapa topik besar selain program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 Tahun dan tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dan mengusulkan program kongkrit berjangka pendek.

CACAT DALAM PERATURAN PERUNDANGAN

UU No. 20 Thn 2003 Ttg Sisdiknas merupakan produk perundangan tentang pendidikan di Indonesia yang memiliki cakupan terluas,dibanding UU ttg Pendidikan sebelumnya,namun proses politik yang tidak mulus, membuat UU ini memiliki cukup banyak cacat isi dan ideologis sejak lahir, salahsatunya adalah penetapan MajlisTaklim sebagai pendidikan nonformal yang harus berijin dan sangsi tahanan 10 tahun atau denda 1 Miljar jika dilanggar. Pasal yg belum diatur dengan PP ini harus disikapi dengan benar,jika tidak ingin menyebabkan konflik horisontal. Oleh sebab itu,UU ini wajib diperbaiki atau sedikitnya beberapa cacat UU tersebut harus dipermak didalam Peraturan Pemerintah. Beberapa PP yg seharusnya sudah disahkan, sejak Tahun 2005, hingga saat ini belum diselesaikan.

Guru dan Tenaga Kependidikan boleh bernafas lega,karena disahkannya UUGD yang berpihak kepada mereka, setidaknya yang berstatus PNS, meskipun menuntut mutu terbaik dalam mengajar dalam bentuk sertipikat kompetensi, meskipun indikator yang akan diukur masih banyak menimbulkan polemik dan belum memiliki difinisi dengan jelas. Tetapi, UU di Indonesia terbiasa mulur mungkret, sehingga cukup banyak masalah yang disisakan dalam PP yang baru dirancang menyertainya, padahal seharusnya paling telat Tahun 2007 harus selesai. UUGD dan rancangan PPGD yang juga masih cacat harus diperbaiki dan koreksi kembali karena masih menyisakan persoalan antara lain diskriminasi antara guru swasta dan PNS serta belum memiliki nafas selaras dg UU no 23 Thn 2000 tentang perlindungan anak & konvensi Hak Anak, serta pengakomodasian status guru senior yang sudah tidak mampu lagi memperoleh jenjang akademis D4/S1.

Pemerintahan juga menyisakan PR dengan belum menyelesaikan RUU BHP yang sudah disebutkan oleh UU Sisdiknas sejak Tahun 2003, isi RUU yang menimbulkan polemik ini sangat berbahaya, jika pemerintah tidak siap menjadi regulator yang kuat dan lugas. Kepres 76 dan 77 tentang penanaman modal asing, mendorong pendidikan di Indonesia menjadi murni komoditas dan murni liberalisasi pendidikan yang akan menghacurkan cita cita konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa.

BIROKRASI MASIH TDK EFEKTIF & TIDAK AKUNTABEL

Birokrasi pemerintahan, apalagi birokrasi pendidikan,masih berkerangka fikir dan bersikap dengan kerangka usang. Demi menyenangkan atasan yang mentarget kelulusan murid dalam UN, masih banyak yang bersikap curang. Dana BOS masih disunat dan lambat disalurkan jika tidak diberi uang pelicin. Lambatnya pencairan anggaran membuat birokrasi tergesa membelanjakan dana, sehingga sangat sulit diharapkan hasil kerja bermutu tinggi. Birokrasi seperti ini,baik di diknas pusat dan daerah harus ditertibkan dan dikontrol dengan ketat dan diberi sangsi yang membuat jera. Oleh karena saat ini sangsi Guru PNS masih sangat lemah dan tidak mendorong etos produktif, sehingga kepala sekolah dan bahkan kepala dinas tidak mampu berbuat apa apa jika guru dengan golongan 4 berbuat ulah, sikap paling tegas hanyalah memindahkannya ke sekolah pinggiran.

Di dunia militer, jarang sekali jabatan panglima TNI dan pangkat bintang 4 tanpa prestasi di komando teritorial, sementara itu, kepala LPMP (d/h BPG) yang sudah naik pangkat minimal jadi bintang dua, tetapi masih mempraktekkan kultur usang BPG, sehingga mustahil penataran guru in servis bisa sukses. Dalam jangka 5 tahun Diknas harus mampu menjadikan LPMP sama bergengsinya dengan gengsi KomandoTeritorial dalam TNI dan agar bisa dilaksanakan dengan tepat, harus dibuat beberapa LPMP model untuk the best inservice training. Kepala LPMP yang sukses, berhak mendapat kredit besar menjadi calon dirjen dimasa datang.

Pungutan di sekolah negeri, meski sudah diatur masih tetap marak, agar pemerintah enteng, buatlah setidaknya Permen or Kepmen agar sekolah negeri wajib membuat laporan keuangan baku dan melaporkan pungutan tersebut kepada orangtua murid. Hal ini wajib dilakukan, karena sekolah negeri bukan subyek audit BPK, meski mematuhi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan hanya melaporkan UYHD (Uang Yang Harus Dipertanggungjawabk an) kepada Dinas Pendidikan setempat, sebagai unit yang menjadi subyek audit. Sekolah swasta punya aturan jelas, mereka harus mematuhi SAK Organisasi Nirlaba (Yayasan).

MUTU GURU

Sekitar 2,7 Juta guru di Indonesia,1, 5 juta merupakan guru SD/MI dan kurang dari 50% yang layak mengajar, sementara sisanya guru SMP/MTs dan guru SMA/SMK/MA hanya 65% yang layak mengajar (Pusat Data dan Informasi Pendidikan-Diknas 2004). Sementara itu, pemerintah selalu mengatakan kekurangan dana untuk memperbaiki mutu pendidikan indonesia, bisa jadi suara ini masih akan muncul sekalipun nanti anggaran pendidikan sudah 20% dari APBN. Hal ini terjadi karena birokrasi pendidikan masih saja bersikap mubasir dengan tetap menjalankan pola penataran Guru yang tidak diperlukan,tak menyenangkan dan boros.

Diknas harus mendorong upaya murah untuk memperbaiki mutu guru, salah satunya dengan mengumpulkan praktisi terbaik persekolahan dan menugasi mereka melatih guru dengan skenario pelatihan yang menyenangkan dan sesuai konteks lokal serta mendayagunakan sumberdaya lokal.

Sebagai contoh kemubasiran adalah, Pak Tjandra, seorang guru fisika berprestasi nasional dari SMAN 10 Malang adalah empu yang mampu membuat alat peraga dan laboratorium Fisika dari bahan murah dan bekas, Pak Tjandra menganggur tidak dimanfaatkan bahkan oleh Dindiknas kotanya sekalipun, meskipun dipuji setinggi langit oleh Profesor dari luarnegeri. Banyak warga terhomat seperti pak Tjandra di negeri ini, tetapi jika mereka dibajak negeri dunia ketiga yang lebih cerdik memanfaatkan keahlian langka seperti itu, pejabat Diknaslah yang paling berdosa.

Peningkatan mutu guru sebagaimana diamanatkan dalam UUGD harus dilaksanakan dengan konsisten dan terbuka. Jika kontrol lemah, ijasah D4 dan S1 bodong akan beredar luas dan pemegangnya berhak ikuti pendidikan profesi. Jika mutu pendidikan profesi buruk, bagaimana mungkin kita yakin lulusannya bermutu ? Rakyat berhak menuntut, karena Guru PNS yang akan dididik itu dibayar dengan anggaran negara yang dikumpulkan dari memungut pajak dari rakyat.

Simpang siur Ujian Nasional (UN) seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah melakukan kontrol dengan serius pelaksanaan Ujian Nasional. Janganlah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang baru disahkan dengan Permen Diknas No 22 sd 24 Tahun 2006 ikut carut marut lagi karena kelemahan kontrol birokrasi pemerintah. Jika KTSP ini masih tetap tidak tersosialisasikan dengan baik dan tidak dikontrol tuntas dalam pelaksanaannya, pengurangan beban kurikulum dan implementasinya, sudah pasti akan membingungkan guru dan kepsek yang cenderung koruptif, perilaku terang terangan menjual buku di sekolahpun tidak ditindak tegas, meskipun jelas menyalahi aturan mendiknas.

PARTISIPASI PUBLIK & PENDANAAN

Kerangka berpikir birokrasi pendidikan yang masih berorientasi biaya (cost centered), menjadikan berapapun anggaran yang tersedia selalu tidak cukup dan habis dibelanjakan. Padahal, jika mampu mendayagunakan potensi pebisnis yang sedang trendy dengan pola tanggungjawab sosialnya (Corporate Social Responsibility- CSR), maka banyak sekali kekurangan dana pendidikan tertutupi. Pemerintah harus mendorong DPR dan otoritas Keuangan untuk mengolah UU Pajak agar "fasilitas& quot; pajak dapat dipakai sebagai insentif agar perusahaan mau membantu pendidikan, apalagi UU Perseroan Terbatas (PT) yang baru sudah mewajibkan setiap perusahaan menyetorkan sebagian dana nya untuk CSR. Jika semua sumbangan kepada pendidikan menjadi pengurang pajak atau ada anasir pembiayaan pendidikan dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di PPh, maka akan banyak dana yang langsung dibelanjakan di sektor pendidikan dan menutup tekor dana pendidikan.

Meskipun urusan perpajakan ini bukan tugas Depdiknas langsung, tetapi upaya pengarusutamaan pendidikan (Education mainstreaming) harus menjadikan mendiknas leader dalam upaya ini, jika tidak mampu dilaksanakan, mubasirlah punya mendiknas mantan menteri keuangan.

Namun, tentulah jangan biarkan CSR perusahaan semaunya belanjakan dananya dan semaunya pula memilih sektor sektor yang seksi dan mudah terlihat.Depdiknas harus siapkan cetakbiru "daftar belanja" program perbaikan pendidikan yang jelas, agar perusahaan dapat cepat dan tepat sasaran dalam berkiprah di gerakan perbaikan pendidikan. Ubah total tampilan situs elektronik www.diknas.go. id yang lambat dan tidak komunikatif dan miskin data itu, tampilkan dalam situs yang lebih interaktif dan mudah serta cepat diakses serta isi yang selalu terbarukan

Agar semua pihak melihat kemajuan aksi perbaikan pendidikan ini, berita kehumasan Depdiknas harus tegas ditangani satu pintu, dalam menyampaikan informasi harus efektif, jelas dan cakupan besar. Syarat lulus murid setingkat SMP/SMA yang pada dasarnya tidak hanya berpatokan pada nilai UN dan persyaratan sertifikasi Guru, menjadi contoh nyata ketidak jelasan informasi Depdiknas, sehingga tidak dimengerti awam dan jadilah UN dan Sertifikasi Guru sasaran tembak utama.

PENGHARGAAN

Penghargaan kepada insan pendidikan sudah sampai tahap kritis,sehingga bahasa indonesia memiliki kata sifat "menggurui& quot; yang diterima luas dan berkonotasi buruk, anehnya guru tidak pernah tersinggung dan protes. Hasil observasi di beberapa SMAN (SQIP-SF,2005) , penghargaan guru terhadap diri sendiri sangat rendah. Untuk mulai memperbaikinya, berilah penghargaan semua insan pendidikan, termasuk guru dan kepala sekolah melalui Education Award.

Meskipun Walikota dan Gubernur yang mampu menjadikan pendidikan di kotanya maju, sudah menerima anugerah ini, seharusnya demikian juga pengamat, aktivis pendidikan hingga media yang selalu peduli kepada isu pendidikan. Sewa humas handal hingga gaungnya melebihi hajatan Kementrian Lingkungan dalam Kalpataru dan Depdagri dalam Adipura, jika bisa melebihi acara seperti AFI atau Indonesian Idol. Acara Guru & Dosen Teladan yang diundang ke istana negara saja tidak cukup, meskipun acara ini harus dilestarikan.

PENDIDIKAN GURU

Setiap tahun ribuan mahasiswa diluluskan oleh institusi pendidikan yang sekarang disebut sebagai Lembaga Pengembang Tenaga Kependidikan (LPTK) Negeri dan Universitas, 98% menjadi guru. Jadi, siapakah yang bisa ingkar jika kita katakan bahwa LPTK LPTK dan Universitas yang sebelumnya bernama IKIP inilah penyumbang utama buruknya mutu pendidikan indonesia, karena mereka menyumbang guru yang bermutu rendah. Sehingga sebagai "pabrik& quot; Guru, LPTK mapan harus dievaluasi total kinerja internalnya, sistimnya, mutu dosennya dan semua hal terkait, karena merekalah institusi pendidikan tinggi paling strategis yang terlanjur menjadi penyumbang terbesar ketidakkompetenan guru indonesia saat ini. Oleh sebab itu, program revitalisasi pendidikan Guru di Indonesia yang di danai oleh Bank Dunia sebesar ribuan juta USD (Kompas,Des 2007) harus dikawal ketat, agar tidak mengulangi ke mubasiran program program sejenis sebelumnya.

Ketika saya berkunjung ke Universitas Negeri Jakarta-UNJ (d/h IKIP Jakarta), puluhan gedung kusam bekas pakai UI termasuk asrama mahasiswa Daksinapati masih berdiri kokoh, namun kurang terurus, kondisi ini membuktikan bahwa pemerintah memang berlaku tidak adil. ITS dan Airlangga lebih mentereng, UI dan ITB apalagi. Apakah mahasiswa UI dan ITB dulu membayar lebih mahal ? Tidak, UI dan ITB gedungnya sudah megah sebelum ditetapkan sebagai BHMN. Yang benar, LPTK telah disepelekan oleh pembuat kebijakan negeri ini, karena mereka hanya akan menghasilkan guru, bukan calon karyawan perusahaan Multi Nasional. Perlakuan ini lebih terasa lagi jika melihat akademi yang meluluskan calon tentara yang diwisuda di istana oleh kepala negara. Jika negeri ini memang peduli kepada pendidikan, urusan wisuda guru yang dihadiri presiden bukan perkara sulit.

Pemerintah harus memperlakukan LPTK yang sangat strategis ini lebih baik dari institusi PTN lain, karena tidak mungkin menuntut yang terbaik dengan perlakuan yang terburuk. Tekanan eksternal, seperti ketatnya birokrasi keuangan membuat LPTK makin ciut dan keropos.

Usulan dalam tulisan ini tidaklah sulit dikerjakan jika ada kemauan serius dari pemerintah untuk memperbaiki pendidikan negeri ini. Jika masih juga bekerja angin anginan sehingga program seperti ini tidak berhasil dilaksanakan, jangan salahkan jika rakyat akan berkata bahwa pemerintah dan legislatif sudah meleceng dari jalur konstitusi, karena semua upaya yang dikerjakan oleh pemerintah dan legislatif tidak menuju pendidikan yang mencerdaskan bangsa. Bangsa yang mandiri dan selalu memberikan arti kepada kehidupan dan trampil dalam hidup dan memuliakan kehidupan.

Saya yakin, jika jalan ini ditempuh, 15 Tahun lagi wajah bangsa ini akan mulai berubah.

Depok, Desember 2007
Ahmad Rizali (47)

Sistem Pendidikan di Inggris

Sistem Pendidikan di Inggris


Sistem pendidikan dari negara asing dapat membingungkan dan tidak dikenal
untuk pertama kalinya, terutama setiap negara mempunyai struktur sendiri yang
berbeda. Sekolah di Inggris, Wales dan Irlandia Utara mempunyai kecenderungan
untuk lebih menekankan pada beberapa mata pelajaran yang telah dipilih.

Year 7 sampai 11 (Year 8 - 12 di Irlandia Utara), biasanya untuk siswa
dengan umur 12 tahun sampai 16 tahun.
Beberapa sekolah menengah atas menawarkan lembar departemen ke-6 yang
tidak wajib, Year 12 dan 13
Setelah selesai Year 10 dan 11, sebuah Sertifikat Umum bagi Pendidikan
Menengah Atas (GCSE) akan diberikan, biasanya dalam 5 sampai 10 mata
pelajaran yang berbeda.
Kali ini saya hanya akan berusaha menjelaskan secara singkat sistem
pendidikan di Inggris dimana tahun ajaran berlangsung dari akhir September sampai akhir Juli dengan 2 bulan libur selama musim panas.

Jenjang pendidikan di Inggris
Pendidikan Wajib
Sekolah Dasar
Sekolah Menengah Atas
Pendidikan Pilihan
Sekolah Menengah Atas
Universitas
Pasca Sarjana


Sekolah Dasar (Usia 5 sampai 11)
Enam tahun
Tahun pertama dan kedua disebut “infants”
Tahun ke-3 sampai ke-6 disebut “juniors”
Pendidikan wajib di Inggris dimulai dari usia 5 tahun dengan sekolah dasar. Siswa naik dari kelas 1 sampai 6 tanpa ujian, meskipun kemampuan mereka diuji di usia 7 tahun. Penekanan ada pada belajar secara praktikal dibandingkan menghafal. Siswa belajar mata pelajaran inti seperti Inggris, matematika dan sains, juga pelajaran dasar seperti sejarah, geografi, musik, seni dan olahraga.

Sekolah Menengah Atas (Usia 11 sampai 16)
Lima tahun
Setiap tahunnya disebut “forms”
Di form ke-4, siswa mulai belajar untuk ujian “GCSE” (di 9 atau 10 mata pelajaran)
Ujian GCSE (General
Certificate of Secondary Education)* dilaksanakan di akhir form ke-5
Siswa memulai sekolah menengah pada usia 11 tahun, dimana menjadi kewajiban untuk lima tahun berikutnya. Di setiap jenjangnya, siswa memperdalam pengetahuan mereka pada mata pelajaran inti dan ditambah setidaknya 1 bahasa asing. Di tahun ke-4, mereka mulai bersiap untuk mengikuti ujian-ujian yang disebut General Certificate of Secondary Education atau GCSE. Siswa akan diuji di 9 atau 10 topik GCSE yang mereka pilih.

A Levels di Sekolah Menengah Atas (Usia 16 sampai 18)
Dua tahun
Tahun pertama disebut “Lower Sixth”; tahun kedua disebut “Upper Sixth”.
Siswa mulai mempelajari ujian “A-Level” mereka (dalam 3 atau 4 mata pelajaran)
Ujian A-Level diadakan di akhir tahun pertama dan kedua, dimana nilai akhir adalah gabungan dari nilai-nilai ini.
Setelah menyelesaikan ujian GCSE, siswa sekolah menengah dapat meninggalkan sekolah untuk bekerja, mengikuti program training di sekolah kejuruan atau teknik, atau melanjutkan 2 tahun lagi untuk menyiapkan diri bagi ujian masuk universitas, yang dikenal dengan “A-Levels.” Secara umum, siswa yang ingin masuk ke universitas akan belajar 3-4 subyek untuk ujian A-Levels. Ini kerap dilakukan di sekolah yang dinamakan Sixth Form Colleges. Makin tinggi nilai ujian A-Levels, makin baik peluang siswa untuk masuk ke universitas pilihannya.

Program Sarjana (Usia 18+)
Tiga atau empat tahun
Tahun ajaran dibagi dalam dua atau tiga term
Gelar sarjana diberikan jika telah menyelesaikan
Siswa mengambil jurusan yang sesuai dengan bidang program mereka dan mengikuti ujian akhir
Ditingkat sarjana, siswa di Inggris dapat memilih jurusan “art” dan “sciences”. Program biasanya berlangsung selama tiga tahun dimana selama itu siswa menyelesaikan pelajaran dan tutorial di bidang masing-masing. Siswa yang akan lulus biasanya harus mengikuti ujian akhir. Syarat penerimaan bagi siswa internasional termasuk kefasihan bahasa Inggris (min IELTS 6.0), tambahan 1 tahun sekolah menengah, dikenal dengan University Foundation Year atau nilai A-Level.

Pasca Sarjana dan PhD (Usia 21+)
Satu sampai dua tahun
Gelar Master atau MBA dianugerahkan setelah usai
Siswa harus menyelesaikan tugas pelajaran, menulis tesis dan mengikuti ujian akhir
Siswa pasca sarjana dapat meneruskan program doktoral atau PhD
Pelajaran universitas dapat diteruskan ke tingkat pasca sarjana. Gelas pasca sarjana tradisional biasanya dibidang “Arts” (MA) atau “Sciences” (MSc). Gelar pasca sarjana yang makin populer adalah Masters in Business Administraion (MBA). Program Master berlangsung selama satu sampai dua tahun dan mengharuskan ujian dan tesis untuk syarat kelulusan. Bagi program tertentu, pengalaman dibidang riset dan bekerja dibutuhkan untuk mengikuti program doktoral, atau PhD, yang dapat berlangsung selama empat atau lima tahun di sekoalh dan riset serta disertasi.

Bagi kebanyakan program pasca sarjana dan doktoral, siswa international wajib memiliki gelar sarjana yang diakui dan kefasihan bahasa Inggris (IELTS 6.5). Untuk program MBA, Anda juga diwajibkan memiliki pengalaman kerja selama min. dua tahun.

Ironi Hari Pendidikan Nasional Indonesia

Ironi Hari Pendidikan Nasional Indonesia

May 2, 2008 Print This Post

Technorati Tags: curhat,pendidikan,nasioanl,indonesia
Hari ini tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Entah yang keberapa puluh kali hal ini diperingati dan tidak begitu penting untuk tahu sudah keberapa kalinya hardiknas ini. Yang lebih penting adalah sudah seberapa besar penghargaan dan prioritas bangsa ini terhadap dunia pendidikan. Saat mendengar kata ‘pendidikan’, jangan batasi pikiran kita dengan pendidikan yang bersifat formal yang disimbolkan dengan gedung sekolah dan ruang kelas. Tapi makna pendidikan disini artinya menyeluruh meliputi pendidikan akademik, agama dan moral. Dan ketiga bidang pendidikan tersebut harus diberikan secara seimbang kepada diri manusia. Sebab jika hanya pendidikan akademik yang diutamakan maka lahirlah manusia manusia cerdas yang miskin moral dan nilai-nilai keagamaan sehingga berkembanglah kelompok manusia korup, perampok, pemerkosa, mudah putus asa dan kejelekan-kejelekan lain yang justru semakin membahayakan saat sifat-sifat jelek itu menempel pada manusia yang cerdas secara akal saja.

Faktanya sekarang, ketiga bidang pendidikan di atas (akademik, agama. dan moral) tidak menjadi prioritas bangsa kita ini. Salah satu penanggungjawab terbesar dunia pendidikan, pemerintah, belum memberikan subsidi minimum sesuai undang-undang dasar, yaitu subsidi sebesar minimum 20%. Lihatlah betapa mahalnya biaya sekolah dan kuliah saat ini, jangankan institusi sekolah swasta yang begitu komersil, institusi sekolah milik pemerintah (negeri) saja sudah semakin tak terjangkau. Sebagian universitas negeri telah menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) sehingga subsidi pemerintah dipangkas habis. Efeknya tidak hanya menyengsarakan peserta didik tapi juga para pengajar dihargai sangat rendah dari sisi gajinya. Maka wajar ketika para guru dan dosen lebih banyak ngobyek diluar dari pada konsentrasi kepada peserta didiknya.

Sementara penanggungjawab pertama pendidikan yaitu orangtua, banyak yang tidak mempunyai kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan pendidikan akademik bagi anak-anaknya karena mahalnya biaya sekolah, boro-boro untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, untuk makan saja sudah sangat susah. Sementara orang tua yang mampu memenuhi kebutuhan pendidikan akademik anak-anaknya ternyata tidak memberikan pemenuhan dua bidang pendidikan yang lain yaitu pendidikan agama dan moral. Para orang tua terlalu sibuk dengan karinya sehingga menyerahkan pendidikan agama dan moral kepada pembantu atau babysitternya. Akibatnya, anaknya justru menjadi beban hidup orangtuanya dikemudian hari karena kelakuannya yang buruk sebagai hasil dari rendahnya pendidikan agama dan moral yang diterima anak-anaknya tersebut.

Lalu kontribusi apa yang bisa bisa kita berikan kepada dunia pendidikan nasioanl Indonesia. Tidak usah berpikir terlampau tinggi, berkontribusilah sesuai kemampua yang kita miliki. Jika Anda mengenal internet, sebarkanlah ilmu yang bermanfaat melalui internet, misalnya melalui website atau blog. Jika Anda seorang yang mempunyai pengetahuan agama, sebarkanlah ilmu agama tersebut melalui forum-forum kajian, organisasi atau sarana apa saja yang bisa dijadikan media penyebaran kebaikkan.

Jadi marilah kita cerdaskan bangsa ini dengan pengetahuan akademik, muliakan diri, keluarga dan generasi yang akan datang dengan nilai-nilai agama dan moral sehingga di kemudian hari bangsa Indonesia ini tidak menjadi bangsa yang selalu meratapi dan mengeluhkan ke ironian dirinya tetapi menjadi bangsa yang maju dan memberikan sumbangan kepada peradaban kebaikkan di muka bumi ini.

Pendidikan di Indonesia

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

Jenjang pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

* Pendidikan anak usia dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

* Pendidikan dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

* Pendidikan menengah

Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar.

* Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Jalur pendidikan

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

* Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

* Pendidikan nonformal

Pendidikan nonformal paling banyak terdapat pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah TPA, atau Taman Pendidikan Al Quran,yang banyak terdapat di setiap mesjid dan Sekolah Minggu, yang terdapat di semua gereja.

Selain itu, ada juga berbagai kursus, diantaranya kursus musik, bimbingan belajar dan sebagainya.

* Pendidikan informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Jenis pendidikan

Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

* Pendidikan umum

Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

* Pendidikan kejuruan

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Bentuk satuan pendidikannya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

* Pendidikan akademik

Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.

* Pendidikan profesi

Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki suatu profesi atau menjadi seorang profesional.

* Pendidikan vokasi

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal dalam jenjang diploma 4 setara dengan program sarjana (strata 1).

* Pendidikan keagamaan

Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

* Pendidikan khusus

Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB).

Filosofi pendidikan

Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.

Banyak orang yang lain, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, “Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya.”

Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam — sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka — walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

Kualitas pendidikan

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan — khususnya di Indonesia — yaitu:

Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.

Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.

Malapetaka Dunia Pendidikan di Indonesia

Malapetaka Dunia Pendidikan di Indonesia

Saturday, July 25th, 2009 No Commented
Under: Lain-lain


Kualitas pendidikan merupakan salah satu tolak ukur kemajuan sebuah bangsa.Apabila kualitas pendidikannya bagus maka bagus pula lah kemajuan bangsa itu.Hal inilah yang mengilhami bangsa kita untuk memajukan pendidikan di negara ini.Salah satu kebijakan untuk mewujudkannya adalah dengan menyelenggarakan ujian nasional bagi siswa SD,SMP,dan SMA.Namun,kecurangan dalam pelaksanaannya maupun buruknya sarana dan prasarana masih banyak ditemukan.Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.Sebaliknya hal ini merupakan suatu pembodohan yang menodai

Pemerintah memang baru–baru ini menggalakkan program-program yang ditujukan untuk memajukan pendidikan bangsa. Standar kelulusan kita memang masih di bawah negara-negara tetangga kita.Oleh karena itu pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan .Berbagai kebijakan ini dilakukan agar kualitas pendidikan tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain di dunia.Salah satu kebijakan itu adalah menyelenggarakan ujian nasional.

Ujian nasional atau unas ditujukan untuk membuat siswa lebih giat belajar.Hal ini memang cukup efektif untuk membuat siswa lebih giat belajar.Pemerintah juga menaikkan batas nilai rata-rata hampir setiap tahun.Hal ini tentu saja memberi rasa khawatir dan memacu siswa agar lebih giat belajar.Pemerintah mengharapkan dengan adanya unas ini kualitas pendidikan di Indonesia akan meningkat.

Namun realitanya banyak ditemukan kasus-kasus kecurangan yang terjadi banyak daerah.Bahkan oknum guru yang menjadi tim sukses unas agar siswa-siswinya dapat lulus.Kecurangan ini bukan hanya bertujuan meluluskan peserta didik namun juga meningkatkan citra suatu daerah.Bahkan pernah terjadi di Garut bupati mengancam akan memutasi kepala sekolah yang presentase kelulusan peserta didiknya di bawah 95%(Republika, 17 Mei 2006) .Hal ini menunjukkan unas juga merupakan alat untuk mencapai kepentingan politik sebuah daerah.

Para guru bukannya tidak mengetahui risiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat kali pelaksanaan ujian nasional, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan segelintir orang. Mereka yang mengetahui mengenai seluk-beluk mengenai murid,tetapi kemudian pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak dan tidak berhak lulus.Masalah tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.

Hal ini menunjukkan bahwa kita gagal untuk memajukan kualitas pendidikan bahkan memperburuk kualitas pendidikan kita.Tujuan pendidikan yang menciptakan manusia cerdas dan kreatif yang mampu menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi telah dinodai demi kepuasan segelintir orang.Hal ini mematikan kretivitas peserta didik dan semangat belajar yang dimiliki siswa.Mereka dipaksa untuk menggunakan porsi belajar hanya untuk pelajaran yang akan diujikan oleh pemerintah.Hal ini menyebabkan siswa melupakan pelajaran lain yang dianggap tidak penting karena tidak diujikan

Apabila masalah ini tidak kunjung selesai maka kita akan memproduksi generasi yang memiliki sifat malas,mental korup,dan tidak mau bekerja keras.Tentu kita tidak ingin itu terjadi,bagaimanapun juga generasi muda kita akan menjadi generasi penerus bangsa ini.Maka tidak salah kalau kita disebut sebagai “bangsa yang gagal” dalam hal pendidikan.Padahal pendidikan merupakan salah satu pilar untuk memutus mata rantai kemiskinan.

Pendidikan yang gagal berpotensi menghasilkan politisi-politisi yang malas dan bermental korup.Mungkin inilah yang menyebabkan banyak koruptor di Indonesia.Sikap acuh dan tidak peduli di tengah masyarakat menjadi pupuk berkembangnya masalah ini.Bila kita terus berdiam diri melihat kenyataan ini maka kehancuran bangsa ini tinggal menunggu waktu.

Selain masalah unas juga terdapat masalah pada sarana dan prasarana penunjang sekolah.Sering kita dengar sekolah yang ambruk hingga melukai siswanyang sedang belajar di sekolah.Hal ini patut menjadi perhatian kita.Bagaimana mungkin melaksanakan kegiatan belajar mengajar dilakukan tanpa sarana dan prasarana.Murid akan terganggu belajarnya karena takut gedung sekolahnya rubuh.Pihak sekolah tentu tidak diam,mereka telah mengadukan masalah ini ke pemerintah daerah setempat.

Seharusnya hal tersebut tidak terjadi apabila pemerintah daerah tersebut merespon baik keluhan tersebut.Namun realitanya,seolah pemerintah daerah acuh terhadap masalah ini.Pemerintah pusat telah menganggarkan 20% APBN untuk dunia pendidikan.Dana itu seharusnya cukup untuk memperbaiki sekolah-sekolah yang rusak tersebut.Namun,sekolah-sekolah tersebut urung diperbaiki.

Namun yang tak kalah penting adalah peserta didik itu sendiri.Karena bagaimanapun juga peserta didik lah yang menjalani proses belajar.Kemauan serta kerja keras untuk meraih cita-cita yang diinginkan harus ditanamkan di dalam hati para peserta didik.Menjunjung tinggi kejujuran perlu ditanamkan sebagai pedoman siswa dalam menghadapi segala situasi karena kejujuran merupakan salah satu kunci keberhasilan.Dorongan dan dukungan dari orang tua juga sangat dibutuhkan untuk memompa semangat belajar siswa.Semangat dan kerja keras merupakan modal yang di butuhkan bagi siswa untuk meraih cita-citanya

Perlu kesadaran dari seluruh elemen masyarakat untuk mengatasi masalah dunia pendidikan di Indonesia. Kesadaran akan pendidikan merupakan hal yang penting bukan hanya untuk masa depan siswa namun juga demi masa depan bangsa.Semangat menjunjung tinggi kejujuran juga perlu ditumbuhkan bukan hanya untuk siswa melainkan juga untuk semuanya. Apabila seluruh masyarakat sadar akan pentingnya pendidikan dan mau menjunjung tinggi kejujuran ,saya yakin negara ini akan maju.

Pendidikan dan Arsitek Indonesia

Pendidikan dan Arsitek Indonesia - siapa yang salah?

Pendidikan secara umum yang dipandu oleh Departemen Pendidikan di Indonesia memang sangat membingungkan. Mulai dari pendidikan dasar sampai tingkat paska sarjana. Visi dan Misi dari sistem pendidikan yang terus berganti dan tidak pernah menjadi jelas akan dibawa kemana menjadikan pendidikan di Indonesia sangat mahal untuk yang ingin mendapatkan kualitas dalam pendidikannya. Hal ini otomatis membawa akibat kepada semua disiplin ilmu dalam pendidikan di Indonesia.

Kebingungan dalam pendidikan ini muncul juga dalam pendidikan arsitektur. Panduan yang digariskan dari Departemen Pendidikan dan alur yang muncul dalam profesi arsitek selama bertahun-tahun sudah berakibat pada terjadinya jurang yang mendalam dan melebar. Pernyataan klasik yang muncul adalah `lulusannya tidak siap untuk bekerja’. Lalu ditambah dengan pernyataan lain `kalau lulusan dari luar negeri mereka lebih siap bekerja’. Ini yang kemudian membuat banyak siswa dan orang tua siswa berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di luar negeri demi pendidikan yang `kabarnya’ lebih baik.

Apa yang menjadi hambatan pendidikan di Indonesia untuk menjadi lebih baik? Kenapa lulusannya tidak siap bekerja? Kenapa lulusan dari luar negeri lebih siap bekerja?

Saya melihat kepada kurikulum dan matapelajaran yang ditawarkan di Indonesia dari SD sampai Universitas. Menurut saya tidak ada yang salah dan kalaupun ada perbedaan hanya sedikit dan tidak terlalu penting untuk dikategorikan sebagai gagalnya system pendidikan di Indonesia. Ahli2 paedagogi akan bisa lebih dalam membahas hal ini daripada seorang arsitek seperti saya. Tidak terlalu penting karena menurut saya apapun system yang akan dianut – Cambridge, DC, Oxford dll – semua sama bagusnya. Persoalannya kenapa sistemnya menjadi gagal? Sementara di Negara asal telah terbukti menghasilkan banyak ahli yang handal.

Menurut saya yang menggagalkan sistem tersebut bukan Departemen `Bingung’ Pendidikan tapi `budaya bingung nusantara’ yang menggagalkan semua sistem yang dicoba diterapkan di Republik tercinta ini. `Budaya bingung nusantara’ ini merepotkan sekali. Karena hal ini berurat dan berakar di tanah air (menurut saya) sebagai akibat munculnya kolonialisme Belanda selama 350 tahun. Perubahan budaya dan cara berfikir yang dididik oleh sistem kolonialisme ini sangat terasa menjadikan masyarakat Indonesia menjadi `Bingung Budaya dan ber Budaya Bingung’.

Saya tidak suka membahas suatu masalah tanpa diusahakan mencari jalan keluarnya. Jadi kalau kita ini semua adalah produk pendidikan kolonial belanda yang kemudian mendadak merdeka lalu menjadi masyarakat bingung budaya terus bagaimana caranya memperbaiki kebingungan ini? Caranya, dengan pendidikan. Loh? Tapi pendidikannya kan sudah bingung? Bukan pendidikannya yang bingung; yang bingung itu budaya manusianya. Jadi perubahan pendidikan itu dimana? Pendidikan yang harus dirubah adalah pendidikan manusianya. Pendidikan keahlian manusianya bagaimana? Perlu disesuaikan dengan standar-standar internasional tapi bukan merupakan hal yang sulit. Pendidikan untuk merubah manusianya itu adalah revolusi.

Revolusi? Yes. Revolusi pembebasan pemikiran manusia yang terjajah kolonialisme selama 350tahun. Bukannya kita sudah merdeka? Secara hukum benar kita merdeka. Tetapi secara budaya kita belum merdeka.

Bukti dari penjajahan budaya kolonialisme dalam budaya Indonesia contohnya: takut untuk duduk sejajar dengan klien dengan alasan bahwa klien adalah raja. Lalu kenapa arsitek asing berani duduk sejajar dengan klien dan berani mengatakan tidak pada kliennya? Ini adalah budaya strata masyarakat yang diciptakan oleh kolonialisme. Pertama segregasi karena priyayi atau non-priyayi; lalu segregasi karena ada uang dan tidak ada uang; lalu segregasi karena kulit putih dan kulit tidak putih. Segregasi ini memang dimanapun juga (termasuk Negara barat) masih terjadi hanya semakin tipis bedanya. Buktinya setelah melalui ratusan tahun akhirnya baru tahun ini USA memilih Obama sebagai presidennya dengan perjuangan yang luar biasa.

Lalu ada budaya; mohon doa restu dalam segala hal sehingga menjadikan tidak ada yang mempunyai pendapat atau berpendapat atau mempertanyakan pendapat dari para priyayi, pemilik uang atau kulit putih. Jarang sekali arsitek Indonesia mempertanyakan pendapat klien dan klien juga jarang mau mempertanyakan pendapat arsitek asing. Hasilnya arsitek Indonesia itu mohon doa restu dari klien; kalau klien mohon doa restunya dari arsitek asing. Akibat lainnya dari tidak adanya budaya mengemukakan pendapat ini; masyarakat menjadi hidup tanpa mempunyai budaya bertukar pendapat, berdiskusi dan silang pendapat yang sehat. Dalam sejarah kalau diperhatikan di propinsi2 dimana budaya berdiskusi antar tetua kampung dan masyarakatnya sangat kuat maka Belanda sulit menaklukkan daerah itu. Sekarang ini seringkali diskusi dan silang pendapat itu dianggap menjadi hal yang tidak sopan. Mempertanyakan pendapat orang lain secara terbuka dianggap menjadi penghinaan. Budaya kritik dan silang pendapat secara edukatif tidak pernah berhasil dijalankan karena budaya kolonialisme menjadikan manusianya tidak bisa menerima kritik dan silang pendapat. Budaya diskusi menjadi ajang untuk adu menang dan kalah untuk menunjukkan supremasi (kuasa) dan kekuasaan (control) bukan untuk: mencari wawasan baru; mengerti sudut pandang yang berbeda; setuju untuk tidak setuju; berbeda jalan untuk menuju tujuan akhir yang sama dan hal2 lainnya yang lebih bermanfaat. Hal ini adalah salah satu kelebihan dari sekolah di luar negeri. Budaya diskusi dan silang pendapatnya sangat matang.

Keadaan yang paling berat yang dialami oleh budaya di Indonesia yang berakibat besar pada arsitek2 adalah masalah kebebasan berfikir (menurut saya). Pemikiran yang diarahkan oleh dogma2 (apapun juga) sedemikian mencekam dibudaya masyarakat Indonesia, sehingga berakibat manusianya tidak berani keluar dari dogma2 tersebut. Budaya takut (fear) kepada dogma2 ini juga diajarkan oleh kolonialisme dengan tujuan untuk mempermudah penguasaan (control). Akibatnya di arsitektur adalah: ketidak mampuan arsitek Indonesia untuk menabrak dan mempertanyakan ide2 dan kehilangan ide2 dan keberanian untuk `think outside the box’. Ini juga merupakan salah satu kunci perbedaan ide2 arsitek asing dan Indonesia.

Semuanya itu otomatis berakibat besar pada kualitas akhir yang muncul dari arsitek Indonesia. Jadi kenapa sekolah diluar negeri hasilnya lebih siap untuk bekerja. Karena disana siswanya harus hidup dengan budaya yang berani bertanya, berani berfikir, berani mengajukan pendapat dan berani bersilang pendapat. Bagaimana dengan kemampuan teknisnya? Bukannya mereka juga lebih baik? Ya, memang betul; karena kemampuan teknis yang lebih baik itu muncul karena siswa2 tersebut terbiasa untuk mempertanggung jawabkan pendapatnya sehingga penguasaan dalam hal2 teknis adalah suatu keharusan yang muncul dari dalam dirinya sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pendapat dan keputusan2nya. Bukan karena peralatan teknis dan dogma2.

Jadi sebenarnya masih relevankah membahas jurang antara pendidikan dan profesi? Pendidikan perlu ‘revolusi pendidikan’ dan profesi perlu ‘revolusi budaya’. Kalau kita memang ingin mengarahkan telunjuk ke kambing hitam otomatis semua pihak akan menunjuk kepihak yang lainnya. Tapi apa iya perlu? Revolusinya harus dilakukan dalam skala nusantara. Yang harus diperbaiki adalah budaya. Yang harus dilakukan adalah revolusi. Menurut saya tidak adil kalau ditanggung sepihak. Ini urusan kita bersama tanpa terkecuali. Saya mengusulkan kolaborasi.

Salam
Dian

From: diankusumaningtyas [mailto:diankusumaningtyas@ yahoo.com. au]
Sent: 18 Maret 2009 2:13
To: iai-architect@ yahoogroups. com
Visist : www.d-eyeview.com

Pendidikan Indonesia Saat Ini

Pendidikan Indonesia Saat Ini

Sistem pendidikan Indonesia saat ini bisa dibilang lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Sistem pendidikan Indonesia saat ini lebih menekankan pada sikap para siswa agar lebih aktif lagi dalam menempuh pendidikan. Meskipun demikian, banyak kekurangan-kekurangan dalam sistem pendidikan negara kita ini. Sarana dan prasarana yang kurang menunjang, terutama di daerah pedesaan yang terpencil membuat para siswa menjadi kesulitan dalam menempuh pendidikannya. Belum lagi dengan tingkat kesejahteraan tenaga pengajar yang masih rendah. Masyarakat harusnya ikut membantu pemerintah dalam mensukseskan program-program pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Biaya pendidikan yang semakin mahal jelas sangat dirasakan oleh masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini tentu menyebabkan siswa terancam putus sekolah yang dikarenakan orang tuanya tidak sanggup untuk membayar biaya sekolah yang semakin mahal tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah membuat program 'Sekolah Gratis' untuk jenjang SD Negeri dan SMP Negeri (kecuali SBI dan RSBI). Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Pendidikan Kota Surabaya juga telah mencanangkan program Wajib Belajar 12 tahun (SD, SMP, dan SMK). Pada tahun-tahun sebelumnya, Depdiknas juga membuat program 'Biaya Operasional Sekolah (BOS)'. Namun, setelah program BOS dilaksanakan, banyak terjadi penyelewengan dana BOS oleh pihak sekolah. Pemerintah berharap dengan diadakannya program Sekolah Gratis tersebut anak-anak Indonesia yang tidak dapat bersekolah dapat bersekolah lagi karena seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah.

HAM dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

HAM dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

Refleksi Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember

Kemarin, 10 Desember 2006 diperingati sebagai International Human Right Day (Hari Hak Asasi Manusia). Bermacam elemen peduli HAM memperingatinya dengan aksi demonstrasi menuntut penegakan HAM di Indonesia, ada juga aksi simpatik dengan membagi-bagikan brosur yang berisi penghentian aksi-aksi yang mencederai HAM. Pun, ada beberapa komunitas yang “hanya” melakukan renungan atau refleksi tentang praktik HAM di Indonesia sambil tak lupa mendoakan arwah Munir SH, aktifis HAM yang harus meninggal karena diracun arsenik di pesawat yang mengantarkan kepergiannya ke Belanda untuk menuntut ilmu.

Sejarah Kelahiran dan Perkembangannya

Hak asasi merupakan hak yang telah dimiliki oleh manusia yang telah diperolehnya yang dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi ini ialah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir semua seluruh dunia dan di mana hak-hak asasi diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu dalam suatu naskah internasional. Usaha ini pada 10 Desember 1948 berhasil dengan diterimanya Universal Declaration Of Human Rights (Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam perserikatan bangsa-bangsa.
Dalam sejarah umat manusia telah tercatat banyak kejadian di mana seseorang atau golongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan lain untuk memperjuangkan apa yang disebut dengan haknya. Sering perjuangan ini menuntut pengorbanan jiwa dan raga. Juga di dunia barat sering kali ada usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Keinginan ini timbul setiap kali terjadi hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan dan merendahkan martabat seseorang sebagai manusia. Dalam proses ini telah terlahir beberapa naskah yang secara berangsur-angsur menetapkan bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat universal dan asasi. Naskah tersebut adalah sebagai berikut:
1.Magna Charta (Piagam Agung, 1215), suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahanya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan raja John itu
2.Bill Of Rights (Undang-Undang Hak, 1689), suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap raja James II, dalam suatu revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution of 1688)
3.Declaration de droits de i’homme et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Prancis, sebagai perlawanan terhadap kesewenangan dari rezim lama
4. Bill of Rights (Undang-Undang Hak), suatu naskah yang disusun oleh rakyat Amerika dalam tahun 1789 (jadi sama tahunya dengan Deklarasi Prancis), dan yang menjadi bagian dari undang-undang dasar pada tahun 1791.
Hak-hak yang dirumuskan dalam abad ke-17 dan abad ke-18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai hukum alam (Natural Law), seperti yang dirumuskan oleh John Locke (1632-1714) dan hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.
Akan tetapi dalam abad ke-20, hak-hak politik ini dianggap kurang sempurna dan mulailah dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Yang sangat terkenal ialah empat hak yang dirumuskan Presiden Amerika serikat, Franklin D Roosevelt pada permulaan awal perang dunia II waktu berhadapan dengan agresi Nazi-Jerman yang menginjak-injak hak-hak manusia. Hak-hak yang disebut oleh presiden Roosevelt terkenal dengan istilah The Four Freedoms (Empat Kebebasan) yaitu:
1.Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of spech)
2.Kebebasan beragama (freedom of religion)
3.Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear)
4.Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want)
Hak yang keempat yakni kebebasan dari kemelaratan, khususnya mencerminkan perubahan dari alam pikiran umat manusia yang menganggap bahwa hak-hak politik pada dirinya dirasa tidak cukup untuk menciptakan kebahagiaan untuknya. Dianggap bahwa hak politik misalnya, hak untuk menyatakan pendapat, tahu hak untuk memilih dalam pemilihan umum yang diselenggarakan sekali dalam empat atau lima tahun, tidak ada artinya jika kebutuhan manusia yang paling pokok, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan, tidak dapat dipenuhi. Menurut anggapan ini hak manusia juga harus mencakup bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Pelaksanaan HAM dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

Dimotori oleh Alm Munir SH, pelaksanaan HAM di Indonesia berangsur-angsur menuju ke arah yang lebih baik. Pelaksanaan HAM di Indonesia juga sudah membawa angin segar bagi masyarakatnya, seperti kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan sebagainya. Hanya saja belum sempurna, orang-orang lemah kadang masih diperlakukan secara semena-mena. Contoh: orang cacat atau miskin sulit mendapatkan kesempatan dalam menempuh pendidikan di sekolah umum. Padahal, hak atas pengajaran diatur pada Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 Yang berbunyi: 1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; 2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Pun, juga diatur pada Declaration of Human Rights, Pasal 26 yang berbunyi: 1) Setiap orang berhak mendapat pengajaran, pengajaran harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya dalam tingkatan sekolah rendah dan tingkatan dasar. Pengajaran sekolah rendah harus diwajibkan. Pengajaran teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan pelajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kecerdasan; 2) Pengajaran harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima serta rasa persahabatan antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau golongan penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan perserikatan bangsa-bangsa dalam memelihara perdamaian; 3) Ibu-bapak mempunyai hak utama untuk memilih macam pengajaran yang akan diberikan kepada anak-anak mereka. Dan juga diatur dalam Covenanton Economic, Social and Culture Rights, pasal 13 yang berbunyi: Negara-negara peserta dalam perjanjian ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka sepakat bahwa pendidikan akan mengarah kepada pengembangan penuh dari kepribadian orang serta kesadaran akan harga dirinya, serta memperkuat rasa hormat terhadap hak-hak manusia serta kebebasan-kebebasan dasar. Mereka selanjutnya sepakat bahwa pendidikan memungkinkan semua orang untuk ikut serta secara efektif dalam masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antarbangsa-bangsa dan semua kelompok jenis bangsa, suku atau agama, serta memajukan kegiatan-kegiatan perserikatan bangsa-bangsa memelihara perdamaian.

oleh: Didik Harianto *

Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia

Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia

Social Add comments

Beberapa waktu belakangan ini saya jadi banyak berpikir (makin tua kali yee), kenapa kualitas pendidikan di Indonesia dalam kacamata komparatif saya sangat rendah. Saya perhatikan kualitas lulusan S1, (bahkan S2), akademi, sekarang sangat parah. Kacamata saya selaku pelaku ekonomi, calon employer, pengamat, dan sebagai masyarakat awam, kadang cuma bisa mengelus dada. Sedemikian rendahnya kah kualitas pendidikan kita sehingga lulusannya hampir semua dikategorikan tidak bermutu! Mengapa sampai bisa terjadi demikian? Apakah yang menjadi sebabnya? Dan bagaimana mungkin Indonesia bisa mengejar ketinggalannya dibandingkan negara-negara lain dengan kondisi demikian? (yang ada kata gue mah makin jauh gapnya )

Saya akan serahkan topik ini untuk menjadi bahan perenungan bersama, silahkan disimpulkan oleh masing-masing, terutama apabila kadang timbul rasa sedikit apatis, apa yang dapat dikontribusikan oleh masyarakat biasa seperti kita (disisi lain perimbangan akan perasaan ingin berkontribusi justru besar).

Here’s the hint: Kalo menurut pandangan saya sih, ada beberapa hal yang membuat kualitas pendidikan kita parah seperti sekarang. Diantaranya adalah : Rendahnya atmosphere kreatif dikembangkan di lingkungan didik di kampus/sekolah. Dari kecil sampe lulus kuliah, para siswa hanya dijejelin kurikulum. For what? Mereka bahkan tidak pernah tahu untuk apa, karena ya daya nalar dan sisi kreatifnya tidak pernah diasah (distimulus). Selama ini kita hanya dijejali tugas-tugas sekolah, itung-itungan, tanpa mengerti esensinya akan dipergunakan untuk kebutuhan real di dunia nyatanya sebagai apa. Exception? Ada. Dari sebagian kecil saja para pendidik yang cukup “creative” untuk berani tampil beda. The rest? Hmm tidak berani berexperiment atau mungkin ya karena dicocok dengan target kurikulum, dan bahkan tidak dibekali dengan kemampuan untuk menjadi seorang pengajar (Menjadi seorang pengajar itu tidak bisa otomatis bisa, bakat dan teknik harus ditularkan). Saya sendiri penganut aliran mencimplak dan praktek, dengan demikian mereka menjiwai apa yang dikerjakan.

Beberapa waktu yang lalu saya sedang bertugas ke luar negeri. Betapa mata batin saya tersentuh ketika menyaksikan puluhan anak-anak taman kanak-kanak sedang berlarian di bandara dan “diperkenalkan” dengan dunia oleh para pembimbingnya (yang lebih terkesan sebagai ibu-ibu rumah tangga). Oh. Kapan Indonesia bisa mengejar ketinggalan dibanding dunia lain, apabila kita tidak pernah merevolusi sistem belajar mengajar di dunia pendidikan kita. Salah satu cerita yang paling berkesan dari kaisar Hirohito yang ketika itu kalah perang setelah dibombardir bom atom Amerika adalah…. munculnya satu pertanyaan dari beliau “Berapa banyak guru kita yang tersisa?”. Sedemikian pentingnya posisi pendidik bagi suatu bangsa, kenapa tidak pernah menjadi perhatian serius bagi kita. Membangun generasi jauh lebih mulia demi kemajuan bangsa daripada mengurus persoalan lain yang cuma kental unsur politisnya.

Membenahi Sistem Pendidikan di Indonesia

Membenahi Sistem Pendidikan di Indonesia

Oleh Nicholaus Prasetya - 14 Juni 2009

Sabtu, 13 Juni 2009, beberapa sekolah di Indonesia sudah menerima presentasi kelulusan para siswa-siswinya. Ada tawa yang terlepas ketika keberhasilan tergapai. Namun, ada juga air mata yang keluar karena kegagalan yang didapat.

Kembali, dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan air mata pada pihak pelajar. Sebuah kebijakan mengenai Ujian Nasional, harus membuat beberapa orang kecewa. Belum lagi, ada juga kekecewaan yang muncul yang berasal dari luar pihak-pihak yang mengalami kegagalan dalam ujian nasional.

Beberapa hari sebelum pengumuman mengenai kelulusan, kekecewaan juga nampak pada beberapa sekolah yang harus mengikuti ujian ulang. Ditengarai, hal ini disebabkan karena faktor soal yang bocor. Tentu saja, hal ini sungguh menyakitkan bagi para siswa yang sebenarnya tidak ikut terlibat, dan juga tentu akan membuat nama pendidikan di Indonesia menjadi tercoreng.


Kekecewaan juga nampak pada bobroknya penjagaan yang dilakukan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional serta kerahasiaan sebuah dokumen negara, dalam hal ini dokumen ujian nasional. Saat ujian nasional berlangsung, tidak jarang terjadi kebocoran soal, tersebarnya kunci jawaban via telepon selular, serta peristiwa nyontek-menyontek.

Patut diakui, kualitas dari Ujian Nasional itu sebenarnya memang patut untuk dipertanyakan jika melihat sederet masalah yang terjadi. Selain itu, akan juga muncul beberapa pertanyaan terkait. Apakah dengan standar soal yang ada, seorang pelajar memang betul-betul bisa dikatakan lulus dari bangku sekolah menengah? Lalu, bagaimana dengan perkembangan kepribadiannya? Bagaimana jika hasil Ujian Nasional nya bagus, namun itu bukanlah hasil dari sebuah kejujuran?

Kesalahan sistem pendidikan

Banyak kritik terlontar ketika Ujian Nasional harus terus digelar dan dijadikan sebagai satu-satunya acuan untuk menentukan kelulusan seorang siswa. Padahal, banyak aspek lain yang patut untuk diperhitungkan disamping aspek nilai Ujian Nasional.

Faktor yang sering terlupakan dalam masalah pendidikan adalah masalah pembentukkan moral dan karakter dari para pelajar itu sendiri. Terkadang, proses pembentukkan moral dan karakter ini cenderung dikesampingkan karena adanya orientasi terhadap kesuksesan yang mutlak dicapai saat pelaksanaan Ujian Nasional.

Akibatnya adalah kepribadian yang terbentuk di tubuh para pelajar bukanlah sebuah kepribadian yang patut untuk dibanggakan. Kejadian tawuran antara UKI dan YAI serta sederet aksi yang sama telah menunjukkan bahwa pembentukkan kepribadian dinilai masih sangat minim.

Untuk mengubah hal ini memang tidaklah mudah. Ini nampaknya sudah merupakan sebuah kesalahan yang ada pada sistem pendidikan di Indonesia. Letak kesalahannya adalah fokus yang berlebih terhadap pelaksanaan Ujian Nasional. Fokus yang berlebih ini kemudian juga berujung pada fokus untuk peningkatan serta mempertahankan citra sekolah tersebut, serta mengenyampingkan proses pembentukkan kepribadian pelajarnya.

Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Ujian Nasional, bukan hanya digunakan sebagai sarana untuk menilai seberapa baik kemampuan siswa tersebut, namun juga dijadikan sebagai sarana dari pihak sekolah untuk ajang unjuk gigi di bidang pendidikan skala nasional. Hal ini terjadi karena sekolah yang mendapatkan nilai Ujian Nasioanl tertinggi, dengan sendirinya juga akan terangkat namanya. Nama yang terangkat ini juga kemudian akan berpengaruh pada seberapa banyak calon siswa yang akan masuk ke sekolah itu karena akan dinilai sebagai sekolah favorit.

Lalu, jika dalam konteks masalah seerti ini, siapa yang akan merasa tertekan? Pelajar tentunya. Hal ini disebabkan karena adanya tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka untuk menjaga citra sekolah, sehingga terkadang persiapan untuk mengikuti Ujian Nasional dinilai terlalu berlebihan dan menguras banyak tenaga. Selain itu, akhirnya pelajaran untuk membentuk moral dan karakter akan dengan sendirinya terhapuskan karena digunakan untuk kepentingan mata pelajaran yang akan diujikan dalam Ujian Nasional.

Untuk membentuk seorang calon pemimpin diperlukan pendidikan yang bukan hanya mengorientasikan dirinya pada sebuah kuantitas, namun juga pada kualitas. Kuantitas belum tentu bisa untuk dijadikan sebagai bahan acuan dalam melihat kualitas. Itulah sebabnya, ujian nasional sepertinya memang tidak bisa djadikan satu-satunya acuan untuk menetukan kelulusan. Masih diperlukan penilaian terhadap aspek-aspek lainnya. Diantaranya adalah penilaian dari segi moral dan karakter siswa tersebut, apakah sudah terbentuk dengan baik atau belum.

Satu hal yang wajib untuk dilakukan jika memang ada keinginan untuk tetap mempertahankan Ujian Nasioanal sebagai standar dalam menentukan kelulusan adalah, keharusan melaksanakan pembenahan sistem Ujian Nasional itu sendiri. Pembenahan sistem disini dimaksudkan agar tidak lagi terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang sudah diutarakan penulis di atas.

Pendidikan Indonesia seyogyanya dapat menciptakan lulusan yang unggul jika saja pembenahan dalam segala sistem pendidikan mau dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara untuk tidak mengorientasikan pendidikan hanya kepada nilai, namun juga kepada pembentukkan kepribadian dan karakter pelajarnya.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL UN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL UN

Oleh: Khaerudin

Pendahuluan
Hasil UN tahun 2009 telah diumumkan 15 Juni 2009. BSNP menyatakan bahwa “Angka kelulusan SMA dan MA tahun ini naik 2,3% yaitu sebesar 93,62% dari angka tahun lalu yang sebesar 91,32%”. Ini berarti masih ada 8,68% siswa SMA dan MA tidak lulus. Siapa yang salah? Pasti tidak akan ada yang pihak yang dengan rendah hati mengakui itu adalah kesalahannya. Hal yang sangat mungkin terjadi, pihak yang paling disalahkan adalah siswanya sendiri dan guru atau sekolah. Siswa akan dinilai orang “bodoh” yang tidak memiliki kemampuan menjawab soal-soal dengan baik. Guru dan sekolah akan dianggap gagal “mendidik” lebih tepatnya mengajar para siswanya, dan jika jumlahnya banyak sekolah akan dianggap sekolah yang tidak “bonafid”.
Fair?
Para siswa dan guru yang disalahkan pun pasti akan membela diri. Lantas siapa yang harus disalahkan. Kalau mau fair, tentu tidak mudah menentukan siapa yang salah. Karena sesungguhnya keberhasilan itu sangat dipengaruhi oleh banyak sekali faktor. Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dalam diri siswa sendiri, seperti kecerdasan intelektual, kecemasan, kesiapan mental, bahkan kondisi fisik. Bagi siswa yang memiliki keterbatasan kecerdasan intelektual tentu akan mengalami kesulitan menghadapi soal-soal UN yang diperuntukkan mereka yang normal dan di atas normal, sekalipun batas kelulusan hanya 5,5. Sekuat apapun mereka berusaha dan menyiapkan diri, tetapi karena memang dasarnya kecerdasan mereka terbatas akan sulit berhasil dengan baik. Dengan kondisi seperti ini, apakah mereka pantas disalahkan atas kegagalannya lulus UN. Satu hal yang pasti dan patut kita sadari adalah bahwa tidak ada seorang pun mau memiliki keterbatasan kecerdasan intelektual ini. Semua orang pasti menginginkan memiliki kecerdasan yang luar biasa, minimal normal.
Faktor kecemasan apabila ada dalam ambang tertentu akan mendorong siswa memiliki kekuatan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Namun apabila kecemasan ini berlebihan, karena terlalu banyaknya tekanan — baik dari dalam diri dan terutama dari luar — maka kecemasan ini akan berdampak negatif terhadap kesiapan mereka menghadapi ujian. Dengan kata lain mereka yang terlalu cemas dan takut cenderung akan menjadi tidak siap menghadapi soal-soal; akan menjadi kurang percaya diri untuk dapat berhasil menyelesaikan soal-soal dengan baik. Pada akhirnya, dengan kondisi seperti ini jelas peluang untuk bisa berhasil lulus UN menjadi sangat kecil.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang mempengaruhi hasil belajar adalah kondisi fisik siswa. Tidak bisa dipungkiri kondisi fisik siswa yang tidak fit, sakit atau bahkan stress akan sulit dapat menyelesaikan soal-soal ujian yang membutuhkan konsentrasi penuh. Anak yang diare, misalnya — bisa jadi karena stres — akan sulit berkonsentrasi secara penuh untuk dapat menyelesaikan soal dengan baik, karena dalam waktu yang bersamaan mereka juga harus merasakan kondisi fisiknya yang tidak mendukung. Siswa yang berada dalam kondisi seperti inipun bukanlah mustahil pada akhirnya gagal lulus UN.

Faktor Eksternal
Yang dimaksud faktor eksternal adalah faktor-faktor yang ada di luar diri siswa yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan siswa lulus ujian nasional, seperti lingkungan belajar di rumah atau sekolah, lingkungan fisik tempat ujian berlangsung, fasilitas/sarana dan prasarana yang dimiliki dan digunakan siswa, baik di rumah maupun di sekolah, situasi dan kondisi pada saat ujian berlangsung, dan juga masalah teknis berkenaan dengan cara mengisi lembar jawaban dan proses pemeriksaan lembar jawaban.
Para siswa yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai dan didukung oleh lingkungan fisik dan sosial yang baik, tentu akan memiliki peluang yang sangat besar untuk berhasil dalam UN. Karena dengan faktor-faktor eksternal yang mendukung, mereka akan dengan penuh konsentrasi mempersiapkan dan mengikuti UN.
Demikian juga dengan kondisi sarana dan prasarana di sekolah. Sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa akan sangat membantu para siswanya menguasai kompetensi/materi yang akan diujikan. Tidaklah terlalu heran, kalau banyak siswa yang berhasil lulus dengan nilai 10, berasal dari sekolah-sekolah yang selama ini dicap sebagai sekolah “bonafid”. Sekolah-sekolah seperti ini tentu memiliki sumber belajar yang kaya yang memungkinkan para siswanya belajar lebih intens dan fokus. Tidak hanya itu, sekolah seperti ini juga dilengkapi dengan parasarana yang sangat mendukung, ruang ber-AC, lingkungan yang bersih, dlsb. yang semuanya akan membuat siswa belajar lebih konsentrasi. Tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah yang “seadanya”. Biasanya siswa yang bersekolah di sekolah seperti ini, mereka hanya mengandalkan buku-buku yang mereka miliki yang juga seadanya. Bisakah mereka belajar maksimal yang pada akhirnya dapat lulus UN dengan baik?
Tidak kalah pentingnya adalah masalah teknik pada saat para siswa menjawab soal dan proses pemeriksaan lembar jawaban. Faktor inipun kalau saja tidak diperhatikan dengan baik dapat siswa mengalami kegagalan (tidak lulus UN). Hal ini terbukti, dari beberapa kasus, para siswa dinyatakan tidak lulus UN karena pada saat proses pemeriksaan, lembar jawaban siswa diperiksa dengan menggunakan kunci jawaban yang berbeda. Otomatis nilai siswa “anjlok” dan divonis tidak lulus. Apa jadinya, dan bagaimana nasib mereka kalau hal ini terjadi terus menerus?

Dengan analisis di atas apakah kita masih akan menyalahkan sepenuhnya kepada para siswa atas kegagalan mereka dalam UN?

POTRET PENDIDIKAN DI INDONESIA

Tuntutan era globalisasi, mendorong trend berkembangnya pola pendidikan di Indonesia ke arah pendidikan yang materialistik. Kondisi ini telah memicu pergeseran paradigma pendidikan di segala aspek terutama yang terkait dengan refleksi pendidikan, yang pada hakekatnya harus mengutamakan kebutuhan peserta didik. Hasil pendidikan dapat terefleksi pada profil lulusan yang memiliki karakter: rasa menghargai keberadaan dirinya sendiri, rasa percaya diri, komunikatif, kemampuan berpikir kritis, jiwa kebersamaan, rasa dan jiwa bertanggung jawab, kepekaan dan komitmen sosial, pemahaman terhadap sistem politik dan budaya, mampu berpikir ke depan (visi), mampu berkreasi dan berimajinasi, serta mampu melakukan refleksi dan evaluasi.

Esensi pendidikan baik dalam keluarga, masyarakat maupun sekolah sebagai satu-satunya jalur yang dapat ditempuh untuk mencetak generasi yang akan mengukir profil atau status atau karakter bangsa Indonesia, di era moderen ini nampaknya mulai mengalami erosi. Kelemahan sistem pendidikan saat ini antara lain disebabkan oleh peran keluarga terutama ibu yang tidak optimal sebagai pendidik, misalnya karena maraknya konsep gender. Jaminan bahwa setiap anak akan mendapat pendidikan yang baik dan benar masih perlu dipertanyakan. Tata sosial yang kapitalis-sekuler menyajikan menu individualis dan materialis yang harus disantap oleh para generasi mulai bayi, balita, anak-anak sampai dewasa. Dunia pendidikan memiliki andil yang tidak kecil terkait krisis multidimensi, karena tidak mampu melahirkan pribadi-pribadi utuh yang mampu menyelesaikan problematika bangsa.

Pola pendidikan di Indonesia minimal dapat dikaitkan dengan empat unsur, yang sekaligus menjadi pilar implementasinya. Ke-empat unsur tersebut adalah kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, sistem pendidikan, manajemen pendidikan, dan proses pembelajaran. Terjadinya pergeseran landasan pijak bagi pengembangan pola pendidikan dewasa ini, mewarnai pola pendidikan yang semula berorientasi pada kebutuhan siswa agar menjadi manusia dengan kepribadian yang utuh, berubah menjadi bagian dari kepentingan politik, aliran, golongan atau pribadi. Fakta yang dapat kita indera sebagai indikator adalah keterpurukan bangsa, KKN semakin luas, korupsi, keadilan hukum yang terasa semakin jauh, sementara energi intelektual sudah terkuras habis, tanda-tanda jalan keluar sebagai solusi belum nampak.

Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengamanatkan bahwa perguruan tinggi harus otonom, yang berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Untuk sekolah/madarasah harus dikelola dengan prinsip manajemen sekolah/madarasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa wewenang otonomi yang diberikan kepada lembaga dengan tujuan agar meningkatkan tumbuh dan berkembangnya kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas, dan mobilitas, diterjemahkan lain. Persaingan tidak sehat di antara lembaga penyelenggara pendidikan (terutama pendidikan tinggi), dengan akibat uang sumbangan pendidikan melejit, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat dengan ekonomi lemah. Polemik rektor berebut mengelola sendiri dana segar dari calon mahasiswa, juga fakta yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat. Dampaknya adalah meningkatnya jumlah anak putus sekolah, sampai diberitakan anak SD terpaksa bunuh diri karena tidak mampu membayar uang SPP (yang seharusnya gratis). Standard mutu menjadi tidak baku, karena masing-masing sekolah berusaha meningkatkan mutunya dengan ”memainkan” muatan lokal dalam kurikulumnya. Akibatnya, selain biaya operasional tidak sama dan dibebankan kepada siswa, muncul sekolah favorit, unggulan dan sebagainya yang anggaran operasionalnya sangat mahal, juga dibebankan pada siswa.. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana nasib siswa yang hanya mampu masuk sekolah biasa yang tidak unggul?. Sementara standard unggul biasanya ditopang oleh performa infra struktur, yang identik dengan gedung berkeramik, ruang ber-AC, kegiatan ekstra kurikuler yang eksklusif dsb.

Untuk mewujudkan otonomi tersebut, maka UU Sisdiknas menentukan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum (BHP) dengan persyaratan tertentu. Ada pernyataan bahwa prinsip manajemen atau pengelolaan BHP tidak mengarah pada komersialisasi atau privatisasi. Benarkah?.

Undang-undang Sisdiknas menegaskan bahwa BHP berprinsip nirlaba, artinya semua sisa lebih dari kegiatan yang dilakukan BHP harus dikembalikan untuk kepentingan pengelolaan satuan pendidikan di dalam. Faktanya SPP naik, kesejahteraan pengajar meningkat, kualitas keseluruhan hasil pembelajaran masih dipertanyakan. Baik UUD-45 maupun UU-Sisdiknas menjamin alokasi 20% dari APBN dan APBD untuk mendanai pendidikan, sehingga pemerintah tidak lepas tanggung jawab dan akan tetap mendanai penyelenggaraan pendidikan. Faktanya anggaran dana pendidikan lebih kecil dari 20%. Untuk institusi pendidikan tinggi yang berstatus BHMN harus mengelola keuangan secara mandiri dan setelah berusia 10 tahun sejak berstatus BHMN harus mampu mendanai institusinya secara mandiri. Beberapa Sekolah Dasar Negeri masih dipungut beaya semacam SPP yang jumlahnya variatif untuk setiap sekolah, tergantung kualitasnya, termasuk dana sumbangan gedung.

Menyoroti proses pembelajaran dalam pola pendidikan di Indonesia abad ke 21 dapat kita cermati mulai dari input, proses, output dan outcome sistem pendidikan. Mekanisme seleksi siswa banyak mengandung unsur KKN atau praktek politik dagang kambing, siapa yang berani harga tinggi akan mendapat kesempatan untuk mengenyam sekolah bermutu atau favorit, sehingga ada jaminan diakses pasar kerja lebih cepat terutama untuk perguruan tinggi. Beberapa sekolah (termasuk Institut Teknologi Bandung untuk perguruan tinggi) memang sudah memberlakukan subsidi silang dengan membebaskan dana sumbangan gedung bagi calon mahasiswa yang berprestasi tetapi berlatar belakang ekonomi lemah, namun persentasenya tidak banyak. Belum lagi masalah substansi atau bentuk (soal) tes masuk yang hanya mengandalkan kemampuan hard skill dalam bentuk soal klasik dari tahun ke tahun, sehingga siswa cenderung menghafal soal, tetapi tidak memahami kedalaman substansinya. Personal qualification yang tidak dijaring lewat sistem seleksi yang profesional mengakibatkan kesulitan dalam proses pembelajaran. Belum lagi masalah perubahan kurikulum yang tidak terencana dan terintegrasi antara pendidikan tingkat dasar menengah sampai dengan pendidikan tinggi. Siswa lebih dipaksa untuk menyesuaikan kurikulum tanpa mengevaluasi kemampuannya. Kurikulum berbasis kompetensi nampak berjalan searah, artinya sekolah hanya mengamati kebutuhan eksternal tanpa menyesuaikan kapasitas dan kemampuan siswa. Akibatnya siswa dibuat kewalahan, karena dijejali dengan materi yang terlalu padat, yang kadang-kadang implementasinya di masyarakat tidak terlalu relevan. Di sini nampak bahwa keseimbangan antara syakhsiyah-tsaqofah dan ilmu kehidupan tidak diperhatikan, sehingga siswa tidak mampu mengimplementasikan ilmunya dalam kehidupannya di masyarakat. Mereka menjalani proses pendidikan sekedar menggugurkan kewajiban dan menghafal ilmu pengetahuan yang ditransfer oleh pendidiknya tanpa memahami manfaatnya. Sebenarnya, integritas dalam proses pembelajaran dapat diselenggarakan dengan metode yang sangat sederhana. Sebagai contoh pada saat siswa melihat air terjun. Guru dapat mengintegrasikan ilmu satu dengan yang lain dengan obyek air terjun tersebut, misalnya bagaimana menghitung kecepatan alir (ilmu fisika), sifat air (ilmu kimia), organisme yang hidup dalam air dan manfaatnya pada sistem irigasi (ilmu Biologi), asal-usul penciptaan air (ilmu agama), bahaya air (geologi), macam-macam air ditinjau dari kebutuhan akan air bersih dan sehat (ilmu kesehatan) dsb. Dalam sistem rekruitmen sumber daya manusia (pendidik), perlu dipertimbangkan masalah personal qualification dan performance. Kalau diberlakukan sistem kontrak bagi tenaga pengajar, bagaimana jaminan kinerjanya?. Secara psikologis status kontrak akan berpengaruh pada rasa memiliki dan keterikatan dengan suatu sistem, yang derajatnya tentu lebih rendah dibandingkan tenaga pengajar berstatus tetap. Masalah output sangat erat kaitannya dengan sistem evaluasi atau asesmen dalam proses pembelajaran. Selama ini, indikator utama yang digunakan untuk menilai kualitas proses belajar mengajar atau lulusan sering didasarkan pada hasil belajar siswa yang tertera pada nilai tes hasil belajar (THB) atau nilai EBTANAS MURNI (NEM). Akibatnya atau outcome yang dapat kita indera adalah guru berlomba-lomba mentransfer materi pelajaran sebanyak-banyaknya untuk mempersiapkan siswa dalam mengikuti THB atau EBTANAS, sehingga siswa dipaksa untuk menghafal informasi yang disampaikan guru tanpa diberi kesempatan atau peluang sedikitpun untuk melaksanakan refleksi secara kritis. Padahal, untuk anak jenjang SD misalnya, yang harus diutamakan adalah bagaimana mengembangkan rasa ingin tahu dan daya kritis anak terhadap suatu masalah.

Kesimpulan yang dapat disari dari uraian di atas adalah sudah saatnya kita memikirkan second opinion untuk meluncurkan pola pendidikan alternatif, yang memberlakukan implementasi pengembangan syakhsiyah-tsaqofah-ilmu kehidupan secara proporsional. Kesimbangan tersebut hanya diperoleh dalam pola pendidikan islam, karena islam tidak hanya mengatur pendidikan agama dalam pengertian khusus (ritual dan ahlaq). Pendidikan Islam bukan sekedar lembaga pendidikan yang bernaung di bawah ormas/yayasan Islam. Di dalam pendidikan Islam, ada paradigma yang berbeda, yaitu adanya kesadaran individu bahwa manusia adalah abdi Allah dan khalifah fil ardh, ada kontrol sosial budaya, dan peran sistem yang dilaksanakan oleh negara.

Keunggulan sistem pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian yang utuh, sehingga akan tercapai keseimbangan nilai-nilai material, sosial, ethical, dan spiritual. Dengan sistem pendidikan Islam, akan terwujud melejitnya potensi dan membuka keajaiban, karena motivasi qur’ani dan semangat menjadi yang terbaik. Selain itu ada kejelasan skala prioritas yang ditentukan oleh hukum syara’. Akhirnya dengan sistem pendidikan islam akan tercipta sinergis mutualistis seluruh stakeholders, menghasilkan kebijakan negara yang ramah pendidikan, baik dari aspek anggaran, media, ristek, tenaga kerja, industri, dan politik luar negeri.

Masalah Pendidikan di Indonesia

A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia

Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.


Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.

Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.


B. Kualitas Pendidikan di Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.

Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.

“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).

Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:

· Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.

· Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.

· Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.

· Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.

· Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.

· Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.

· Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.

· Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.


C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia

Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:

1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.

Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.

Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.


2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia

Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.

Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.

Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.

Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.

Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.

Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.

Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.

Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.


3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.

Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.

Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.

Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.

Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.

Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.


2. Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).

Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.


3. Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).


4. Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.

Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.

Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).

Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.


5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.




6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.


7. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.


D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia

Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.

Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.