Jumat, 07 Agustus 2009

Depnaker Salah Paham terhadap Evaluasi YLBHI

Depnaker Salah Paham terhadap Evaluasi YLBHI

----------------------------------------------------------------------------
JAKARTA (Media): Kepala Divisi Perburuhan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) Teten Masduki menyatakan, telah terjadi salah pengertian
sehubungan dengan adanya tanggapan dari Departemen Tenaga Kerja (Depnaker)
di salah satu media massa Ibu Kota yang menyayangkan evaluasi dan usulan
YLBHI.

Dalam usulan itu, disebutkan, agar Peraturan Menteri Tenaga Kerja
(Permennaker) No 03/Men/97 tentang Upah Minimum Regional (UMR) segera
direvisi karena memiliki sejumlah kelemahan. Untuk itu, menurut Teten, YLBHI
perlu menjelaskan kembali penilaiannya atas Permennaker itu.

Dalam siaran pers yang ditandatangani Kepala Biro Humas Depnaker RI Sutanto
beberapa waktu lalu, Depnaker menyatakan bahwa YLBHI tidak memahami jiwa
dari Permennaker tersebut. Dengan evaluasi itu, YLBHI tidak memberikan
pendidikan pekerja untuk meningkatkan produktivitas kerja dan tidak
menghendaki pertumbuhan kesempatan kerja dengan memaksakan perusahaan yang
tidak mampu melaksanakan UMR.

Menurut Depnaker RI, evaluasi dan usulan YLBHI itu dianggap potensial
menimbulkan keresahan masyarakat, khususnya kalangan pekerja, karena
memutarbalikkan jiwa dan filosofi Permennaker No 03/Men/97 (Kompas, 12/2).

"Kami tidak bermaksud demikian. Depnaker RI dalam hal ini salah paham," ujar
Teten Masduki kepada Media.

Ia menjelaskan, Permennaker No 03/Men/97 tentang UMR itu menerapkan sistem
pembayaran upah berdasarkan perbedaan status kerja. Menurutnya, pembayaran
upah bagi pekerja harian lepas didasarkan pada jumlah hari kehadiran, dengan
perhitungan upah bulanan dibagi 25 (untuk waktu kerja enam hari seminggu),
dan upah bulanan dibagi 21 (untuk waktu kerja lima hari seminggu) (Pasal 9
ayat 4 Permennaker). Sementara pembayaran upah untuk pekerja tetap, pekerja
tidak tetap, dan pekerja dalam masa percobaan diterapkan sistem upah bulanan
(Pasal 9 ayat 1 Permennaker).

Menurut Teten, pembedaan sistem pengupahan tersebut dikhawatirkan dapat
mendorong kecenderungan pengusaha untuk merekrut pekerja berdasarkan
hubungan kerja sementara, atau mengubah status pekerja tetap menjadi pekerja
harian lepas, dalam upaya pengusaha menghindari pembayaran upah bulan
(kenaikan UMR).

"Kekhawatiran itu bukan mengada-ada, mengingat dalam kenyataannya, sejauh
ini banyak industri manufaktur ringan yang menerapkan sistem hubungan kerja
sementara, padahal jenis pekerjaan tersebut bersifat terus-menerus dan
berkelanjutan," ujarnya.

Hal itu, menurut Tenten, terjadi karena realitas penegakan hukum yang
mengatur sistem hubungan kerja di sektor swasta masih memprihatinkan.

Sehingga, ia menilai, Permennaker tersebut bersifat Kontraproduktif, karena
tidak merepresentasikan kepentingan negara untuk memberikan jaminan hak atas
pekerjaan dan pendapatan (job security) bagi rakyat atau pekerja di
Indonesia.

Teten menambahkan, dalam pandangan YLBHI, penggunaan upah minimum untuk
melecut produktivitas pekerja dengan mengaitkan pembayaran UMR dan tingkat
prestasi pekerja (Pasal 12 Permennaker), tidak relevan dan salah kaprah.
Karena, menurut dia, UMR harus diperlakukan sebagai hak normatif pekerja,
yaitu sebagai jaring pengaman (safety net) pekerja agar tidak tergelincir
pada tingkat pendapatan yang lebih parah.

"Sebagai implikasi dari ketentuan tersebut, lanjutnya, YLBHI mengkhawatirkan
para pekerja menerima upah di bawah UMR, atau bahkan dipecat karena dianggap
tidak mencapai prestasi atau target kerja yang ditentukan, sekalipun
tindakan tersebut harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

"Guna mendorong prestasi dan produktivitas pekerja, seharusnya dilakukan
dengan pendekatan penghargaan, seperti bonus, sistem karier, kepastian akan
pekerjaan dan lain-lain," sarannya.(BR/WA/D-2)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar