Jumat, 07 Agustus 2009

Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia

Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia

Oleh: Gayuh Arya Hardika, S.H.

[Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum UGM dan sekarang menjadi volunteer di Trade Union Rights Centre (TURC) Jakarta. Artikel ini merupakan pendapat pribadi]

 Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menggantikan keberadaan P4D/P. Keberadaan PHI merupakan amanat dari UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, tetapi PHI baru diresmikan pada bulan Januari 2006. Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004 tersebut maka UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (LN Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (LN Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara semua peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUPHI.

Sejak awal keberadaannya, PHI telah menuai kritik yang berkaitan dengan, pertama, digunakannya hukum acara perdata sebagai dasar beracara di PHI. Ini yang menjadi persoalan, karena dengan demikian hal tersebut dapat mempersempit kesempatan buruh untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-hak mereka yang dilanggar. Dari pengalaman selama ini, banyak perkara perburuhan yang diajukan ke PHI tidak dapat diterima karena masalah formal gugatan. Ini mengindikasikan bahwa PHI terlalu ketat berpegang pada hukum acara perdata. Persoalannya, tidak semua pihak yang berperkara di PHI, terutama pihak buruh, menguasai hukum acara perdata.Hal ini terbukti ketika UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI mulai efektif berlaku dan sejak PHI di ibu kota 33 provinsi dibentuk pada tahun 2006 hingga tahun 2008. Dalam banyak kasus, PHI mempunyai karakter terlalu ketat pada aturan prosedural yang mana hal itu [telah] menghambat akses buruh, khususnya penggunaan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI itu sendiri.Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak Serikat Buruh yang kekurangan—bahkan hampir tidak mempunyai sama sekali—sumber daya manusia yang mampu memahami teknis hukum beracara di pengadilan. Jangankan yang berpengalaman, orang yang paham tentang sistem dan mempunyai pengetahuan yang cukup akan teknik beracara masih sangat minim di kalangan Serikat Buruh. Terutama serikat buruh kecil dan/atau di tingkat basis (unit kerja).

Kedua, terkait dengan kemampuan PHI untuk menyelesaikan beragam perkara perselisihan perburuhan secara adil. Di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI disebutkan bahwa perselisihan yang merupakan kompetensi absolut dari PHI ialah meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh/organisasi pengusaha.

Pada konteks demikian itu, PHI dituntut tidak hanya adil dalam mengambil keputusan, melainkan juga harus sensitif dengan persoalan dan pelbagai perlakuan tidak adil yang dialami buruh selama ini. Banyak ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak buruh yang telah dijamin hukum selama ini sukar dibuktikan. Sehingga apabila kemudian PHI hanya melihat persoalan secara legalistik-formil dan terlalu kaku pada hukum acara yang berlaku, maka banyak persoalan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas yang bersandarkan pada keadilan substansial.

Ketiga, berkaitan dengan mental korup yang melanda sebagian aparat penegak hukum, dan masih kentalnya mafia peradilan di tubuh lembaga yudikatif. Keadaan yang demikian ini dikhawatirkan dapat menyebabkan PHI “terbeli” sehingga tidak pernah serius menangani perkara yang diajukan oleh buruh.

Namun demikian, di sisi yang lain pada saat yang bersamaan, banyak harapan ditujukan kepada PHI. Secara normatif, ada beberapa ketentuan pasal dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang sebenarnya merupakan ‘terobosan’ bagi kekakuan hukum acara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Maklum, sesuai Pasal 57 UU PPHI, hukum acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain. Misalnya di dalam Pasal 96 Ayat (1) UU PPHI. Pasal ini merumuskan, majelis hakim harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja. Putusan sela ini dijatuhkan pada persidangan pertama jika nyata-nyata pengusaha tidak membayar upah dan hak lainnya selama proses PHK. Bahkan untuk mendukung putusan sela yang dijatuhkan hakim, UU NO. 2 TAHUN 2004 TENTANG PPHI pada Pasal 96 ayat (3) memberikan wewenang kepada hakim untuk memerintahkan sita jaminan atas aset perusahaan.

Walaupun secara umum PHI menggunakan hukum acara perdata, tetapi menurut Pasal 91 Ayat (1), hakim dapat lebih ‘aktif’ dalam proses pembuktian di persidangan. Dengan lain kata, PHI dapat mengabaikan asas ‘siapa mendalilkan dia harus membuktikan’, hakim bisa memerintahkan siapa pun untuk menyingkap dokumen, seperti buku dan surat-surat yang diperlukan.

Terobosan lain yang di bawa UU PPHI ialah Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 108. Ketentuan di dalam Pasal 108 ini mirip dengan ‘putusan serta-merta’ di dalam hukum acara perdata, yaitu putusan yang dapat langsung dieksekusi walaupun belum inkracht.

Berbagai ‘terobosan’ hukum pada konteks upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut pada dasarnya merupakan sesuatu yang lumrah. Berangkat dari pemahaman bahwa posisi tawar yang dimiliki buruh tidak setara dengan pengusaha, maka sudah seharusnya apabila terdapat ketentuan khusus di dalam PHI.

Namun demikian dalam praktik, ketentuan-ketentuan istimewa yang tertuang dalam UU PPHI tak pernah dilaksanakan di persidangan. Sebagai contoh, belum pernah ada hakim yang mengeluarkan putusan sela di persidangan pertama yang menghukum pengusaha membayar upah selama proses. Apalagi sampai keluarnya penetapan majelis hakim untuk melakukan sita jaminan terhadap perusahaan. Amat jarang, kalau tidak mau dikatakan tidak pernah ada, hakim yang aktif dan berinisiatif untuk memerintahkan para pihak menyingkap dokumen saat proses pembuktian berlangsung. Juga belum pernah ada hakim yang dalam amar putusannya menyatakan, “Putusan ini dapat dijatuhkan terlebih dahulu, meskipun ada perlawanan atau kasasi.”Selain itu, PHI dinilai telah gagal melaksanakan tugasnya untuk memutuskan secara cepat, tepat, adil dan murah. Soal lain yang perlu dicermati dan segera dicarikan solusi adalah soal tata cara pengajuan gugatan terhadap suatu perusahaan oleh dua atau lebih serikat buruh yang berada di lokasi yang berbeda pula dengan pokok perkara yang sama.

Hal ini untuk menghindari putusan ganda seperti yang terjadi dalam perkara perselisihan kepentingan di PT. Bridgestone Tire Indonesia, di mana ada dua PHI sama-sama memeriksa perkara yang sama, tetapi memberikan putusan yang berbeda.Dari sekian banyak persoalan tersebut, pertanyaan yang layak untuk diketengahkan adalah apa penyebab dari kinerja PHI yang belum sesuai dengan harapan. Apakah berkaitan dengan pandangan yang berujung pada kekeliruan konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial? Apakah karena persoalan sumber daya manusianya? Apakah persoalan yang terdapat pada tataran regulasi yang megatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, baik dari segi hukum formal maupun materiil? Ataukah justru keberadaan PHI itu sendiri yang menjadi pokok persoalan?

Jika dalam kenyataannya PHI beserta mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan yang ada didalamnya dipandang bukan sebagai sistem yang efektif dan adil bagi buruh, lantas seperti apa alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih cocok bagi kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar