Jumat, 07 Agustus 2009

view the location of this item Aksi Mogok Kerja Afrika Selatan Berakhir

Aksi mogok kerja lima hari pegawai negeri Afrika Selatan telah berakhir. Serikat buruh dan pemerintah kota mencapai kesepakatan tentang kenaikan upah sebesar 13 persen. Pegawai negeri menuntut kenaikan upah 15 persen.

Tahun belakangan, Afrika Selatan untuk pertama kali sejak rezim apartheid, terjerumus ke dalam resesi. Biaya hidup naik luar biasa. 150 ribu tukang sampah, sopir bis, polisi dan pegawai lain menanggapi situasi suram dengan mogok kerja.

Aksi mogok pekan belakangan semakin menjadi-jadi, diwarnai perkelahian. Ribuan pegawai negeri bergabung dalam mars protes menentang pemerintah.

TKI Tewas Dianiaya Majikan di Arab Saudi

Jumat, 24 Juli 2009 | 05:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com-Penderitaan seakan enggan menjauh dari pekerja migran Indonesia. Antin Suprihatin binti Solehudin (34), tenaga kerja asal Bandung, Jawa Barat, tewas mengenaskan dianiaya majikannya di Provinsi Ha’il, 700 kilometer barat laut dari Riyadh, Arab Saudi.

Polisi sudah menahan tujuh anggota keluarga majikan dan kasus ini dalam proses penanganan Mahkamah Investigasi di Ha’il.

Atase Ketenagakerjaan KBRI Riyadh Mustafa Kamal yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (23/7), mengungkapkan, pihaknya terus mengikuti proses hukum yang berlangsung. ”Suami, istri, dua anak, dan tiga keponakan sang majikan kini berada di dalam penjara polisi karena diduga menganiaya korban,” kata Kamal.

Mereka adalah kerabat keluarga Fahad Iyadah Al Syamri yang semula mempekerjakan Antin.

Antin bekerja sejak 17 September 2007. Janda beranak tiga ini tewas pada 23 Mei dengan luka bakar dan bekas penganiayaan berat. Jenazah korban kini masih di rumah sakit dan belum dapat dipulangkan ke Indonesia sampai proses hukum selesai sesuai aturan setempat.

Keluarga Antin di Gede Bage, Bandung, kini menanti jenazah almarhumah. Keluarga berharap Antin dimakamkan di kampung halamannya.

Kasus ini memperpanjang daftar pelanggaran hak asasi TKI di negara penempatan. Belum pupus dari ingatan soal Siti Hajar dan Modesta Rengga Kaka terluka parah akibat penganiayaan majikan di Malaysia, Juni lalu. Yanti Iriyanti asal Cianjur, Jawa Barat, dihukum tembak pada 11 Januari 2008 karena dituduh membunuh majikan di Arab Saudi. Jenazah almarhumah masih ditunggu keluarganya.

Arab Saudi adalah negara penempatan TKI terbesar kedua setelah Malaysia. Sedikitnya 1 juta TKI di Arab Saudi dengan 96 persen pembantu rumah tangga.

Namun, sampai kini belum ada nota kesepahaman (MoU) perlindungan TKI antara Arab Saudi dan Indonesia. Data kepulangan TKI bermasalah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI menunjukkan, 48 persen dari 45.626 TKI bermasalah yang pulang lewat Bandara Soekarno-Hatta, Banten, tahun 2008 berasal dari Arab Saudi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, 11 Juni lalu, mengungkapkan keseriusannya soal perlindungan TKI. ”Setiap saya berbicara dengan kepala pemerintahan negara sahabat, saya menitip agar TKI diberikan perhatian, dilindungi, dan diberikan hak-haknya,” katanya.

Analis Kebijakan Migrant CARE Wahyu Susilo meminta pemerintah memanfaatkan momentum pengesahan undang- undang perlindungan pembantu rumah tangga oleh Dewan Syura, Rabu (8/7), untuk mendesak Arab Saudi membuat MoU perlindungan TKI. (ham/mth)

Deplu Sesalkan Ulah TKI Bervisa Haji

Deplu Sesalkan Ulah TKI Bervisa Haji

Jum'at, 31 Juli 2009 - 16:57 wib
Ajat M Fajar - Okezone

JAKARTA - Departemen Luar Negeri (Deplu) menyesalkan keberadaan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi yang menggunakan visa haji karena memalukan dan hanya menambah persoalan.

"Mereka bukan TKI biasa. Yang menjadi problem mereka menggunakan visa haji, setelah umroh dan menunaikan ibadah haji mereka kerja secara ilegal," papar Menlu Hasan Wirayuda di Deplu, Jakarta, Jumat (31/7/2007).

Hasan mengungkapkan, yang memprihatinkan adalah mereka menjajakan diri di jalan agar ditangkap petugas agar nantinya dideportasi."Suatu ulah yang kita sesalkan," imbuhnya.

Menurut Menlu, saat ini pemeritah Arab tidak lagi melakuan tindakan apapun bagi WNI yang tidak tertib. Sebab, mereka sudah tahu modus menjadi gelandangan di jalan, kemudian ditangkap dan dideportasi untuk menghemat biaya padahal mereka punya uang.

(ram)

Ketentuan Mogok Kerja

Ketentuan Mogok Kerja

In hukum, kantor, ketenagakerjaan on Februari 6, 2008 at 1:51 pm

KETENTUAN MENGENAI MOGOK KERJA
(Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 Pasal 137 s.d. Pasal 145)

 Mogok Kerja adalah merupakan hak dasar Pekerja/ Buruh dan SP/SB.
 Harus dilaksanakan secara sah, tertib dan damai.
 Mogok Kerja adalah merupakan akibat dari gagalnya perundingan.
 Pekerja/Buruh dan/atau SP/SB dapat mengajak Pekerja/Buruh lain, dengan cara yang tidak melanggar hukum, untuk ikut serta dalam Mogok Kerja.
 Pekerja/Buruh yang diajak, dapat mengikuti / menolak untuk mengikuti.
 Pelaksanaan mogok kerja harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan kepentingan orang lain.
 Pekerja/Buruh dan SP/SB wajib memberitahu secara tertulis kepada Instansi Ketenagakerjaan dan pada pengusaha sekurang-kurangnya 7 Hari kerja, dimana pemberitahuan tersebut memuat:
a. Waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhirinya mogok kerja.
b. Tempat mogok kerja.
c. Alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja.
d. Tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris SP/SB sebagai penanggung jawab mogok kerja, kecuali pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja dilakukan bukan oleh anggota SP/SB pemberitahuan dapat ditandatangani oleh Pekerja/Buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
Pengusaha memberikan tanda terima terhadap pemberitahuan mogok kerja tersebut. Jika hal-hal diatas tidak dipenuhi, maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara, berupa:
a. Melarang para pekerja mogok berada di wilayah kegiatan proses produksi.
b. Bila dianggap perlu, pengusaha dapat melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

 Kewajiban Instansi yang bertanggung jawab di bidang tenaga kerja adalah:
a. Memberi tanda terima terhadap pemberitahuan tertulis yang diberikan oleh Pekeja/Buruh dan/atau SP/SB.
b. Sebelum dan selama terjadinya mogok kerja wajib mencari duduk permasalahan dan menyelesaikan permasalahan yang menjadi alasan timbulnya pemogokan dengan merundingkan dan mempertemukan pihak-pihak yang berselisih. Jika perundingan tersebut mencapai kesepakatan, maka dibuatkan PKB dan ditandatangani oleh para pihak dan Instansi yang bertanggung jawab dibidang tenaga kerja sebagai saksi.
c. Jika tidak tercapai kesepakatan maka, instansi tenaga kerja setempat menyerahkan kepada lembaga penyelesaian PHI yang berwenang, dan mogok kerja dapat diteruskan/dihentikan untuk sementara/dihentikan sama sekali atas kesepakatan bersama antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau SP/SB.
 Jika Mogok Kerja tidak memenuhi ketentuan-ketentuan diatas maka dianggap tidak sah, dan sanksinya diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri.
 Mogok kerja yang sah, tertib dan damai tidak dapat dihalangi. Pekerja/buruh yang melakukan mogok yang sah tidak dapat ditangkap/ditahan, tidak dapat diganti dan tidak dapat diberikan sanksi/balasan dalam bentuk apapun.
 Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, Pekerja/buruh tersebut berhak mendapatkan upah.

Menakertrans Diimbau Awasi Asuransi TKI

Menakertrans Diimbau Awasi Asuransi TKI

Jakarta, BNP2TKI (95/8). Kepala Inspektorat Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Drs Mangasi. Simanjuntak menyesalkan lemahnya pengawasan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi terhadap perusahaan asuransi yang tidak membayar klaim asuransi TKI.

“Sangat disesalkan Menakertrans Erman Suparno tidak pernah memberi teguran dan mem-black list perusahaan asuransi yang tidak membayar klaim asuransi,” ujar Mangisi, di Jakarta, Rabu (5/8).

Komentar itu disampaikan ketika Kepala Inspektorat BNP2TKI setelah dalam kunjungan ke BP3TKI Medan, 31 Juli lalu, mendapatkan laporan dari Kepala BP3TKI Medan, H. Sumadi, banyaknya perusahaan TKI yang mengabaikan klaim asuransi TKI. Kasus klaim Asuransi yang belum dapat diselesaikan masih cukup tinggi. Sampai bulan Juni 2009, total ada 486 kasus klaim asuransi bermasalah.

Ia merinci, ada 2 perusahaan asuransi yang pro-aktif untuk membayar klaim asuransi TKI di Medan. Pertama, perusahaan asuransi PT Mitra Dhana Atmharaksha sebanyak 363 klaim asuransi TKI, dan telah disepakati untuk segera dilakukan pembayaran klaim asuransi . Adapun, pada PT Graha Media Utama, terdapat 20 TKI yang akan dibayar klaimnya sembari menunggu kelengkapan dokumen.

Mangasi menyayangkan, klaim asuransi di PT Jasa Advisindo Sejahtera sebanyak 103 orang dan sampai saat ini belum terdapat kesepakatan pembayaran klaim asuransi TKI.

Padahal, kalau Depnakertrans mau melakukan fungsi pengawasannya, ujar Mangasi, sangat kecil kemungkinan perusahaan asuransi akan berani mengabaikan klaim asuransi TKI.

Dalam hal klaim asuransi TKI di Medan, Mangasi menilai, peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Asuransi seperti tertuang dalam Permenakertran No: PER-. 23/MEN/V/2006 sangat tidak melindungi hak-hak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) akan jaminan untuk mendapatkan klaim asuransinya.

“Pemerintah terlalu membela bisnis perusahan asuransi TKI dan lamban membela klaim asuransi TKI,” tegas Mangasi, seraya berharap Permenakertrans No: 23 itu bisa segera direvisi agar hak-hak TKI bisa dicairkan.

Ia mengungkapkan, sebenarnya Permen yang lama soal asuransi TKI, yaitu Permen No: 20 jauh lebih baik dibanding Permen yang mengubahnya Permen No: 23, karena di sana terdapat klausul bahwa pihak asuransi harus bekerjasama dengan lembaga bantuan hukum di luar negeri dalam hal pengurusan klaim asuransinya.

Data BNP2TKI mencatat, total penelantaran klaim asuransi TKI yang dilakukan oleh Konsorsium Asuransi sebanyak 16.612 klaim asuransi bermasalah atau senilai Rp. 365 miliar.

Kepala Inspektorat BNP2TKI berharap, jika Depnakertrans mau menegur perusahaan asuransi PT Jasa Advisindo Sejahtera sebanyak 103 orang TKI bermasalah akan bisa mendapatkan hak-haknya.

Setelah kunjungan pengawasan ke BP3TKI Medan, Kepala Inspektorat BNP2TKI rencananya akan melakukan kunjungan yang sama ke daerah Nunukan, Kalimantan Timur.

Rekomendasi

Pada kesempatan pengawasan ke BP3TKI Medan, Kepala Inspektorat BNP2TKI merekomendasikan langkah penyelesaian klaim asuransi TKI. Pertama, terus berkoordinasi dengan perusahaan asuransi yang terkait supaya segera membayarkan asuransi kepada TKI dan membuat tembusannya kepada Kepala BNP2TKI.

Kedua, memerintahkan secara tertulis kepada PPTKIS agar segera melengkapi berkas-berkas sebagai persyaratan pengajuan klaim asuransi. Dan terakhir, terus melakukan pemantauan terhadap proses pembayaran klaim asuransi. (zul).


BNP2TKI Harapkan Perwakilan RI Perkuat Labor Diplomacy

BNP2TKI Harapkan Perwakilan RI Perkuat Labor Diplomacy

Jakarta, Kamis (6/8) Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat mengharapkan perwakilan RI di luar negeri yaitu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsul Jenderal Republik Indonesia (KJRI), lebih memperkuat peranan labor diplomacy (diplomasi perburuhan) untuk mengatasi berbagai permasalahan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia PLRT (Penata Laksana Rumah Tangga) di luar negeri, di samping kerjasama peningkatan perluasan penempatan TKI skil dan semi skil dengan berbagai negara tujuan penempatan TKI.

Demikian disampaikan Jumhur Hidayat di Jakarta, Kamis (6/8), menanggapi kian dibutuhkannya Departemen Luar Negeri khususnya perwakilan RI di negara-negara Timur Tengah dalam upaya menangani kasus TKI PLRT bermasalah dengan majikan atau pihak agensi di sana. “Sebab bagaimanapun, perwakilan RI adalah garda paling depan dalam menyelesaikan setiap permasalahan TKI di luar negeri,” kata Jumhur.

Diakui Jumhur, perwakilan Ri saat ini memiliki Satuan Tugas (Satgas) dengan tugas di antaranya untuk melayani TKI di luar negeri. Bahkan, kata Jumhur, dalam waktu dekat perwakilan RI di negara-negara Timur Tengah berencana membentuk joint working team (tim gabungan) sehingga terjadi sinergi program penanganan perlindungan TKI di negara-negara tersebut.

“Joint working team merupakan hasil kesepakatan Rapat Koordinasi Perlindungan TKI se kawasan Timur Tengah yang dilaksanakan oleh KBRI Amman, Yordania, 28-29 Juli lalu, kerjasama BNP2TKI dan KBRI Amman. Dengan joint working team itu akan dilakukan penyeragaman sekaligus standar operasional bersama sistem penanganan TKI bermasalah di kawasan Timur Tengah dan juga tentang penempatan TKI di sana,” jelas Jumhur.

Jumhur mencontohkan, KBRI di Amman dipandang perwakilan RI yang aktif menggalang kerjasama (lobby) dengan pemerintah Kerajaan Yordania melalui pendekatan labor diplomacy, sehingga menghasilkan pengapusan denda (pemutihan) terhadap ratusan TKI PLRT bermasalah yang diberikan oleh Departemen Perburuhan Kerajaan Yordania. KBRI Amman juga berhasil menggalang kerjasama dengan pihak agensi Amman maupun majikan untuk pemulangan ratusan TKI bermasalah yang kini dalam penampungan KRI Amman.

Ditambahkan, penguatan labor diplomacy oleh perwakilan RI menjadi keharusan untuk menyelesaikan berbagai kasus penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Jumhur meyakini, peran mengedenkan labor diplomacy oleh masing-masing perwakilan RI akan membuahkan sukses, mengingat Departemen Luar Negeri melalui perwakilan RI sejauh ini berhasilkan mengupayakan peran diplomasi pada bidang perdagangan (investasi), turisme, dan hubungan antarnegara (bilateral) yakni Indonesia dan negara yang ditempati perwakilan RI tersebut.

Sosialisasi TKI G to G Mampu Perangi Calo di Indramayu

Sosialisasi TKI G to G Mampu Perangi Calo di Indramayu

Jakarta, BNP2TKI (6/8) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) diharapkan bisa mengoptimalkan sosialisasi penempatan TKI ke Korea dan Jepang melalui mekanisme G to G (Government to Government). Minimnya informasi yang diterima oleh Calon TKI (CTKI) telah mengakibatkan maraknya praktek penipuan yang dilakukan baik perorangan maupun lembaga di Indramayu.

“Kehadiran stand BNP2TKI pada Job Fair Indramayu selama 3 hari (5-7 Juli) dirasakan betul manfaatnya oleh CTKI Indramayu,” ujar Kepala Bidang Pelatihan dan Penempatan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Indramayu, Iwan Hermawan kepada BNP2TKI.go.id melalui sambungan selularnya, Kamis (6/8).

Menurut Iwan, besarnya iming-iming gaji bekerja di Korea, dan Jepang telah menyebabkan banyak CTKI tertipu puluhan juta per orangnya. Untuk bekerja ke Korea, Australia dan New Zaeland, CTKI diminta membayar Rp. 30 juta, sedangkan Amerika, Rp. 50 juta.

“Total CTKI yang tertipu sudah miliaran rupiah di Indramayu,” ungkap Iwan.

Dalam pantauannya, CTKI banyak yang tertipu baik melalui calo maupun iklan Lembaga Pendidikan Ketrampilan (LPK) Bahasa Korea dan Jepang. Dalam iklannya, mereka jelas-jelas menulis penempatan TKI G to G atas kerjasama dengan BNP2TKI.

“BNP2TKI dijual melalui iklan oleh hampir rata-rata LPK di Indramayu. Ini kan penipuan,” papar Iwan seraya mengatakan pihaknya tidak bisa mengambil tindakan karena di luar kewenangannya.

Ia mengharapkan, agar event seperti di Indramayu bisa menjadi kegiatan tahunan atau dilakukan secara periodik oleh BNP2TKI di Indramayu.

Menurut catatan tahun 2008, lanjut Iwan, ada 90.000 TKI asal Indramayu yang bekerja sebagai TKI dan menghasilkan devisa sebesar Rp 600 milyar atau 10% dari total devisa TKI yang mencapai Rp 6 trilyun.

Dari jumlah 90.000 TKI itu, kata Iwan, sebagian besar warga Indramayu yang menjadi TKI, bekerja di Saudi Arabia dan Malaysia, terutama berprofesi sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT).

“Rendahnya faktor pendidikan menyebabkan mereka mudah terkena bujuk rayuan calo dan iklan LPK Bahasa,” aku Iwan.

Karena itu, dengan adanya stand BNP2TKI, pihaknya mengucapkan terimakasih karena masyarakat bisa langsung mendatangi dan meminta info dari pemerintah.

“Sosialisasi TKI G to G melalui job fair bisa cepat memerangi aktivitas calo dan LPK Bahasa yang menjual nama BNP2TKI untuk menipu CTKI,” ujar Iwan.

Masalahnya, papar Iwan, selama ini CTKI tidak menerima info yang jelas dan benar tentang prosedur bekerja ke negara Korea dan Jepang. Karena tidak jelas itulah, peluang ini banyak dimanfaatkan oleh calo dan LPK Bahasa.

Iwan berharap, agar ke depannya, jika ada kerjasama antara BNP2TKI dengan LPK atau pihak terkait lainnya perihal penempatan TKI G to G, pihaknya diberi tahu agar kemudian bisa menyebarluaskan ke masyarakat umumnya, dan CTKI khususunya. (zul)

Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia

Quo Vadis Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia

Oleh: Gayuh Arya Hardika, S.H.

[Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum UGM dan sekarang menjadi volunteer di Trade Union Rights Centre (TURC) Jakarta. Artikel ini merupakan pendapat pribadi]

 Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menggantikan keberadaan P4D/P. Keberadaan PHI merupakan amanat dari UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, tetapi PHI baru diresmikan pada bulan Januari 2006. Dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2004 tersebut maka UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (LN Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan UU No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (LN Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686) dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara semua peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUPHI.

Sejak awal keberadaannya, PHI telah menuai kritik yang berkaitan dengan, pertama, digunakannya hukum acara perdata sebagai dasar beracara di PHI. Ini yang menjadi persoalan, karena dengan demikian hal tersebut dapat mempersempit kesempatan buruh untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-hak mereka yang dilanggar. Dari pengalaman selama ini, banyak perkara perburuhan yang diajukan ke PHI tidak dapat diterima karena masalah formal gugatan. Ini mengindikasikan bahwa PHI terlalu ketat berpegang pada hukum acara perdata. Persoalannya, tidak semua pihak yang berperkara di PHI, terutama pihak buruh, menguasai hukum acara perdata.Hal ini terbukti ketika UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI mulai efektif berlaku dan sejak PHI di ibu kota 33 provinsi dibentuk pada tahun 2006 hingga tahun 2008. Dalam banyak kasus, PHI mempunyai karakter terlalu ketat pada aturan prosedural yang mana hal itu [telah] menghambat akses buruh, khususnya penggunaan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui PHI itu sendiri.Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak Serikat Buruh yang kekurangan—bahkan hampir tidak mempunyai sama sekali—sumber daya manusia yang mampu memahami teknis hukum beracara di pengadilan. Jangankan yang berpengalaman, orang yang paham tentang sistem dan mempunyai pengetahuan yang cukup akan teknik beracara masih sangat minim di kalangan Serikat Buruh. Terutama serikat buruh kecil dan/atau di tingkat basis (unit kerja).

Kedua, terkait dengan kemampuan PHI untuk menyelesaikan beragam perkara perselisihan perburuhan secara adil. Di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI disebutkan bahwa perselisihan yang merupakan kompetensi absolut dari PHI ialah meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh/organisasi pengusaha.

Pada konteks demikian itu, PHI dituntut tidak hanya adil dalam mengambil keputusan, melainkan juga harus sensitif dengan persoalan dan pelbagai perlakuan tidak adil yang dialami buruh selama ini. Banyak ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak buruh yang telah dijamin hukum selama ini sukar dibuktikan. Sehingga apabila kemudian PHI hanya melihat persoalan secara legalistik-formil dan terlalu kaku pada hukum acara yang berlaku, maka banyak persoalan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas yang bersandarkan pada keadilan substansial.

Ketiga, berkaitan dengan mental korup yang melanda sebagian aparat penegak hukum, dan masih kentalnya mafia peradilan di tubuh lembaga yudikatif. Keadaan yang demikian ini dikhawatirkan dapat menyebabkan PHI “terbeli” sehingga tidak pernah serius menangani perkara yang diajukan oleh buruh.

Namun demikian, di sisi yang lain pada saat yang bersamaan, banyak harapan ditujukan kepada PHI. Secara normatif, ada beberapa ketentuan pasal dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang sebenarnya merupakan ‘terobosan’ bagi kekakuan hukum acara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Maklum, sesuai Pasal 57 UU PPHI, hukum acara yang berlaku di PHI adalah hukum acara perdata, kecuali ditentukan lain. Misalnya di dalam Pasal 96 Ayat (1) UU PPHI. Pasal ini merumuskan, majelis hakim harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja. Putusan sela ini dijatuhkan pada persidangan pertama jika nyata-nyata pengusaha tidak membayar upah dan hak lainnya selama proses PHK. Bahkan untuk mendukung putusan sela yang dijatuhkan hakim, UU NO. 2 TAHUN 2004 TENTANG PPHI pada Pasal 96 ayat (3) memberikan wewenang kepada hakim untuk memerintahkan sita jaminan atas aset perusahaan.

Walaupun secara umum PHI menggunakan hukum acara perdata, tetapi menurut Pasal 91 Ayat (1), hakim dapat lebih ‘aktif’ dalam proses pembuktian di persidangan. Dengan lain kata, PHI dapat mengabaikan asas ‘siapa mendalilkan dia harus membuktikan’, hakim bisa memerintahkan siapa pun untuk menyingkap dokumen, seperti buku dan surat-surat yang diperlukan.

Terobosan lain yang di bawa UU PPHI ialah Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 108. Ketentuan di dalam Pasal 108 ini mirip dengan ‘putusan serta-merta’ di dalam hukum acara perdata, yaitu putusan yang dapat langsung dieksekusi walaupun belum inkracht.

Berbagai ‘terobosan’ hukum pada konteks upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut pada dasarnya merupakan sesuatu yang lumrah. Berangkat dari pemahaman bahwa posisi tawar yang dimiliki buruh tidak setara dengan pengusaha, maka sudah seharusnya apabila terdapat ketentuan khusus di dalam PHI.

Namun demikian dalam praktik, ketentuan-ketentuan istimewa yang tertuang dalam UU PPHI tak pernah dilaksanakan di persidangan. Sebagai contoh, belum pernah ada hakim yang mengeluarkan putusan sela di persidangan pertama yang menghukum pengusaha membayar upah selama proses. Apalagi sampai keluarnya penetapan majelis hakim untuk melakukan sita jaminan terhadap perusahaan. Amat jarang, kalau tidak mau dikatakan tidak pernah ada, hakim yang aktif dan berinisiatif untuk memerintahkan para pihak menyingkap dokumen saat proses pembuktian berlangsung. Juga belum pernah ada hakim yang dalam amar putusannya menyatakan, “Putusan ini dapat dijatuhkan terlebih dahulu, meskipun ada perlawanan atau kasasi.”Selain itu, PHI dinilai telah gagal melaksanakan tugasnya untuk memutuskan secara cepat, tepat, adil dan murah. Soal lain yang perlu dicermati dan segera dicarikan solusi adalah soal tata cara pengajuan gugatan terhadap suatu perusahaan oleh dua atau lebih serikat buruh yang berada di lokasi yang berbeda pula dengan pokok perkara yang sama.

Hal ini untuk menghindari putusan ganda seperti yang terjadi dalam perkara perselisihan kepentingan di PT. Bridgestone Tire Indonesia, di mana ada dua PHI sama-sama memeriksa perkara yang sama, tetapi memberikan putusan yang berbeda.Dari sekian banyak persoalan tersebut, pertanyaan yang layak untuk diketengahkan adalah apa penyebab dari kinerja PHI yang belum sesuai dengan harapan. Apakah berkaitan dengan pandangan yang berujung pada kekeliruan konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial? Apakah karena persoalan sumber daya manusianya? Apakah persoalan yang terdapat pada tataran regulasi yang megatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, baik dari segi hukum formal maupun materiil? Ataukah justru keberadaan PHI itu sendiri yang menjadi pokok persoalan?

Jika dalam kenyataannya PHI beserta mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan yang ada didalamnya dipandang bukan sebagai sistem yang efektif dan adil bagi buruh, lantas seperti apa alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang lebih cocok bagi kita?

Koperasi Depnakertrans Bantah Memonopoli Angkutan TKI

Koperasi Depnakertrans Bantah Memonopoli Angkutan TKI

Kapanlagi.com - Ketua Koperasi Pelita Departemen Tenaga Kerja Transmigrasi (Depnakertrans) Sutanto mengatakan pihaknya tidak memonopoli jasa angkutan pemulangan TKI karena hingga saat ini praktik yang dituduhkan itu belum berjalan.

"Kendaraannya saja belum beroperasi, bagaimana mungkin Koperasi Pelita melakukan monopoli. Surat tugasnya baru kami terima 9 Maret (2005) kemarin, " kata Sutanto di Jakarta, Senin (2/5).

Sebelumnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir terjadinya monopoli dalam penyelenggaraan angkutan bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan pulang ke daerahnya masing-masing dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta Jakarta.

"Kami menilai terjadi monopoli karena Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang penunjukan Koperasi Pelita Depnakertrans sebagai pengelola angkutan pemulangan TKI dari luar negeri telah menutup kesempatan bagi pengusaha lain," kata anggota KPPU, Soy Martua Pardede dalam acara diskusi `Persaingan Sehat untuk Asuransi dan Angkutan TKI` di Jakarta, Jumat.

Sutanto menyataan selama ini, kendaraan Isuzu Elf dan Mitsubishi L-300 yang digunakan Koperasi Pelita belum beroperasi di Terminal II dan II Bandara Soekarno Hatta.

Dijelaskannya, Keputusan Menakertrans No.14/2005 bertanggal 17 Januari 2005 mengatur pembentukan Tim Kordinasi Pemberangkatan TKI Nonprocedural dan Pelayanan Pemulangan TKI oleh Depnakertrans.

Kemudian Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar negeri Depnakertrans pada 17 Februari 2005 membentuk Tim Satgas untuk Pelayanan dan Pemulangan TKI. Instansi itu lalu menugaskan dua pejabat Depnakertrans, yaitu Adi Adam Noch dan Arifin Purba untuk melaksanakan tugas tersebut.

"Semuanya berjalan sesuai prosedur meskipun tanggal pembentukan tim dan dan penugasannya sangat `mepet`. Jadi, tidak mungkin Koperasi Pelita melakukan monopoli, " kata Sutanto.

Dia juga menuturkan koperasi yang dipimpinnya bukan sebagai kordinator jasa angkutan, melainkan hanya sebagai anggota saja.

"Menteri menunjuk sembilan perusahaan jasa angkutan dan satu koperasi, yaitu Koperasi Pelita. Tetapi sampai saat ini belum ada perjanjian kerjanya," ujarnya. (*/dar)

HUBUNGAN INDUSTRIAL ERA BARU

HUBUNGAN INDUSTRIAL ERA BARU

Penulis : MUZNI TAMBUSAI, MSc - DIRJEN PHI & JSK NAKERTRANS
Buku ini memuat
1. Tantangan dan Permasalahan Hubungan Industrial
a. Tantangan Hubungan Industrial
b. Permasalahan Hubungan Industrial
c. Isue-isue aktual di bidang Hubungan Industrial
2. Paradigma Baru Hubungan Industrial
a. Fenomena Reformasi
b. Fenomena Globalisasi
c. Kondisi Hukum Ketenagakerjaan
3. Kebujakan dan Strategi Hubungan Industrial
a. Kebijakan Hubungan Industrial
b. Strategi Pembinaan Hubungan Industrial

Isi literatur buku ini dapat diperoleh melalui website phi-jsk-nakertrans.net pada menu informasi dan klik buku hubungan industrial era baru

Depnaker Salah Paham terhadap Evaluasi YLBHI

Depnaker Salah Paham terhadap Evaluasi YLBHI

----------------------------------------------------------------------------
JAKARTA (Media): Kepala Divisi Perburuhan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI) Teten Masduki menyatakan, telah terjadi salah pengertian
sehubungan dengan adanya tanggapan dari Departemen Tenaga Kerja (Depnaker)
di salah satu media massa Ibu Kota yang menyayangkan evaluasi dan usulan
YLBHI.

Dalam usulan itu, disebutkan, agar Peraturan Menteri Tenaga Kerja
(Permennaker) No 03/Men/97 tentang Upah Minimum Regional (UMR) segera
direvisi karena memiliki sejumlah kelemahan. Untuk itu, menurut Teten, YLBHI
perlu menjelaskan kembali penilaiannya atas Permennaker itu.

Dalam siaran pers yang ditandatangani Kepala Biro Humas Depnaker RI Sutanto
beberapa waktu lalu, Depnaker menyatakan bahwa YLBHI tidak memahami jiwa
dari Permennaker tersebut. Dengan evaluasi itu, YLBHI tidak memberikan
pendidikan pekerja untuk meningkatkan produktivitas kerja dan tidak
menghendaki pertumbuhan kesempatan kerja dengan memaksakan perusahaan yang
tidak mampu melaksanakan UMR.

Menurut Depnaker RI, evaluasi dan usulan YLBHI itu dianggap potensial
menimbulkan keresahan masyarakat, khususnya kalangan pekerja, karena
memutarbalikkan jiwa dan filosofi Permennaker No 03/Men/97 (Kompas, 12/2).

"Kami tidak bermaksud demikian. Depnaker RI dalam hal ini salah paham," ujar
Teten Masduki kepada Media.

Ia menjelaskan, Permennaker No 03/Men/97 tentang UMR itu menerapkan sistem
pembayaran upah berdasarkan perbedaan status kerja. Menurutnya, pembayaran
upah bagi pekerja harian lepas didasarkan pada jumlah hari kehadiran, dengan
perhitungan upah bulanan dibagi 25 (untuk waktu kerja enam hari seminggu),
dan upah bulanan dibagi 21 (untuk waktu kerja lima hari seminggu) (Pasal 9
ayat 4 Permennaker). Sementara pembayaran upah untuk pekerja tetap, pekerja
tidak tetap, dan pekerja dalam masa percobaan diterapkan sistem upah bulanan
(Pasal 9 ayat 1 Permennaker).

Menurut Teten, pembedaan sistem pengupahan tersebut dikhawatirkan dapat
mendorong kecenderungan pengusaha untuk merekrut pekerja berdasarkan
hubungan kerja sementara, atau mengubah status pekerja tetap menjadi pekerja
harian lepas, dalam upaya pengusaha menghindari pembayaran upah bulan
(kenaikan UMR).

"Kekhawatiran itu bukan mengada-ada, mengingat dalam kenyataannya, sejauh
ini banyak industri manufaktur ringan yang menerapkan sistem hubungan kerja
sementara, padahal jenis pekerjaan tersebut bersifat terus-menerus dan
berkelanjutan," ujarnya.

Hal itu, menurut Tenten, terjadi karena realitas penegakan hukum yang
mengatur sistem hubungan kerja di sektor swasta masih memprihatinkan.

Sehingga, ia menilai, Permennaker tersebut bersifat Kontraproduktif, karena
tidak merepresentasikan kepentingan negara untuk memberikan jaminan hak atas
pekerjaan dan pendapatan (job security) bagi rakyat atau pekerja di
Indonesia.

Teten menambahkan, dalam pandangan YLBHI, penggunaan upah minimum untuk
melecut produktivitas pekerja dengan mengaitkan pembayaran UMR dan tingkat
prestasi pekerja (Pasal 12 Permennaker), tidak relevan dan salah kaprah.
Karena, menurut dia, UMR harus diperlakukan sebagai hak normatif pekerja,
yaitu sebagai jaring pengaman (safety net) pekerja agar tidak tergelincir
pada tingkat pendapatan yang lebih parah.

"Sebagai implikasi dari ketentuan tersebut, lanjutnya, YLBHI mengkhawatirkan
para pekerja menerima upah di bawah UMR, atau bahkan dipecat karena dianggap
tidak mencapai prestasi atau target kerja yang ditentukan, sekalipun
tindakan tersebut harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

"Guna mendorong prestasi dan produktivitas pekerja, seharusnya dilakukan
dengan pendekatan penghargaan, seperti bonus, sistem karier, kepastian akan
pekerjaan dan lain-lain," sarannya.(BR/WA/D-2)


UMR Diusulkan Naik 100 Persen

14/10/2000 21:45

Liputan6.com, Jakarta: Kenaikan bahan bakar minyak sebesar 12 persen telah melonjakkan sejumlah harga kebutuhan pokok. Karena itu, Upah Minimum Regional (UMR) pekerja seharusnya juga dinaikkan 100 persen. Tujuannya, untuk mengembalikan nilai upah pekerja ke angka yang mendekati kebutuhan hidup minimum. Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Reformasi Mohammad Rodja, di Jakarta, Jumat (13/10).

Senada dengan Rodja, lebih jauh, Ketua Perhimpunan Pekerja Muslim Indonesia Eggi Sujana mengatakan, sebenarnya kenaikan UMR tidak cukup bagi pekerja. Sebab, taraf hidup pekerja tak mungkin ditingkatkan dengan tingkat inflasi yang tinggi.

Sebaliknya, meski mendapat gempuran desakan dari para aktivis buruh, pemerintah bergeming. Sikap pemerintah tersebut sudah dijelaskan lewat Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Syaufi Syamsudin beberapa waktu silam. Syaufi mengatakan bahwa pemerintah tetap akan mempertahankan keputusan Menteri Nakertrans yaitu, hanya menaikkan UMR yang sudah disetujui sebelumnya. Keputusan tersebut menyebutkan per 1 November 2000, untuk Jawa Barat wilayah satu disetarakan dengan UMR Jakarta menjadi Rp 344.257 ribu.(DJO/Kawiyan dan Irfan Efendi)

SEJARAH SINGKAT PERSELISIHAN INDUSTRIAL DAN PERANAN PEGAWAI PERANTARA


SEJARAH SINGKAT PERSELISIHAN INDUSTRIAL
DAN
PERANAN PEGAWAI PERANTARA
Oleh : Drs. Mohd Syaufi Syamsudin, SH, MH
Pengakuan pemerintah Hindia Belanda, bahwa penghidupan perekonomian perlu diatur secara baik, membuka jalan bagi pemerintah untuk membuat undang-undang sosial guna melindungi kelas pekerja yang berada dalam keadaan sosial ekonomis yang lemah. Dengan alasan itu pula kemudian melalui sejarah yang panjang, Pemerintah mengadakan sejumlah besar lembaga-lembaga baru yang diberi tugas dibidang ketenagakerjaan seperti : penilik kerja, yang diberi kewajiban mempertahankan dan menjalankan Undang-undang perburuhan, Dewan-dewan kerja, yang mengurus pelaksanaan undang-undang pertanggungan, perantara-perantara negara, yang memberikan perantaraan untuk melancarkan perundingan secara damai dan menghindarkan pertikaian mengenai hubungan kerja, kantor-kantor penempatan tenagak kotapraja. Sejak tahun 1940 Biro perantaraan kerja negara dengan biro-biro perantaraan kerja daerah yang dibentuk dengan tugas mengatur pemberian kesempatan bekerja dan mencegah kemungkinan pemutusan hubungan kerja yang tidak beralasan.
Dimulai dengan stbl. 1837 Nomor 801 yang memberikan kewenangan kepada Menteri sosial dan Lembaga Perantara Negara (College van Pijksbemddelaars) untuk menyatakan bahwa suatu perjanjian kerja bersama yang berlaku untuk sebagaian besar pekerja disuatu perusahaa yang berskala nasional, dinyatakan berlaku nasional mengikat secara umum bagi seluruh perusahaan lainnya secara nasional atau dalam suatu daerah.
Stbl. 1925 Nomor F 214 memberikan peluang campur tangan pemerintah yang lebih jauh dalam mengatur syarat-syarat perburuhan dan pembatasan-pembatasan kebebasan membuat perjanjian yang lebih keras. Ketentuan itu memberikan kekuasaan pada Colleg van Pijksbemddelaars, untuk menetapkan secara mengikat, peraturan-peraturan mengenai upah dan lain-lain syarat-syarat perburuhan, baik atas permintaan organisasi pengusaha maupun pekerja, ataupun tidak. Perjanjian kerja bersama yang baru dan perubahan-perubahan dari peraturan yang ada, harus disetujuai oleh college itu .
Ketentuan tersebut kemudian menjadi dasar dilakukannya pembetukan lembaga penyelesaian administrasi pada sektor-sektor tertentu. Penyelesaian sengketa administrasi pada jaman Hindia Belanda pada sektor-sektor tertentu tersebut ditempuh dengan jalan penyerahan suatu macam perkara tertentu kepada badan tersendiri yang dibentuk secara istimewa. Kewajiban ini kemudian diperkuat lagi dengan keluarnya putusan pentingdari Hoge Road Belanda (Ostermann-arrest) pada tahun 1924, yang menetapkan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas segala perbuatan alat-lata perlengkapannya, tidak hanya yang melanggar hukum perdata melainkan juga yang melanggar Hukum Publik.
Pengadilan Perdata diperbolehkan memasuki lapangan Peradilan Tata Usata Negara, tetapi terbatas pada masalah pelanggaran hukum dan tidak meliputi masalah kebijakanaan Pemerintah (regelengsbeleid).
Sebelum adanya arrest (1924) dimaksud, di sektor tenaga kerja dengan semakin berkembangnya masalah hubungan industrial, ikut campur negara juga semakin besar. Hal ini mendorong pemerintah Hindia Belanda mengartur secara tersendiri penyelesaian masalah hubungan industrial dalam peraturan khusus dan ditangani oleh instansi tersendiri pula. Pemberian wewenang kepada instansi khusus yang berhak mengadakan penyelesaian masalah perburuhan tersebut, dilakukan dengan maksud agara masalah hubungan industrial dapat diselesaikan secara adil, cepat dan dengan biaya yang relatif murah.
Berdasarkan Stbl.1847 Nomor 23 jo. Stbl 1848 Nomor 57, di dalam pasal 116 ditentukan adanya wewenang Residestie Rehcter untuk mengadili tuntutan-tuntutan yang berhubungan dengan suatu perjanjian kerja (arbeidsovereenkomst). Stbl 1937 Nomor 624, mengatur tentang adanya Dewan Perdamaian untuk kereta api dan trem, yang anggotanya ditunjuk oleh Gubernur Jenderal/\. dewan ini bertugas memberikan perantaraan, jika didalam perusahaan kereta api dan trem timbul atau dikhawatirkan akan timbul perselisihan perburuhan. Stbl 1939 nomor 407, kemudian diubah dengan Stbl. 1948 nomor 238, peraturan tentang usaha untuk mengadakan penyelesaian dalam hal timbul perselisihan perbutuhan yang membahayakan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, terlihat dengan jelas bahwa masalah penyelesaian perselisihan perburuhan sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda telah dilakuka oleh suatu Badan/ Dewan tersendiri.
Pengaturan pemberian kewenangan penyelesaian secara khusus diluar peradilan umum di bidang ketenagakerjaan tersebut telah mulai diadakan sejak tahun 1847 dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yaitu : Stbl.1847 No. 23 jo Stbl.1848 No. 57, Stbl. 628, Stbl 1939 No. 407 diubah dengan Stbl 1948 No. 238, dan Regeling Ontslagrecht Stb. 1941 No. 396. Kebijaksanaan yang telah dimulai sejak masa Hindia Belanda mengenai penyelesaian khusus dibidang hubungan industrial ini, pada masa kemerdekaan diteruskan, bahkan sampai sekarang.
Setelah kemerdekaan tercatat beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan industrial dan PHK. Diantaranya adalah seperti berikut ini :
a. Instruksi Menteri Nomor : P.B.U. 1022-45/U-4091 tahun 1950.
Agar supaya terdapat kerjasama yang baik antara aparat dilingkungan kementerian perburuhan dalam hal penyelesaian perburuhan pada tanggal 20 Oktober 1950 dikeluarkan Insruksi Menteri Perburuan Nomor : P.B.U. 1022-45/U-4091 tentang tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan.
Dalam Instruksi Menteri Perburuhan tersebut dibedakan antara perselisihan perburuhan yang bersifat perorangan dan perselisihan perburuhan yang tidak perorangan, antara buruh perorangan dengan pengusaha tentang soal-soal yang diatur dalam Undang-undang dan Peraturan Perburuhan. Perselisihan yang tidak berakibat pemogokan, diselesaiakn oleh Kantor Daerah Jawaban Pengawasan Perburuhan.Sedang perselisihan perburuhan yang tidak bersifat perorangan antara buruh dan pengusaha tentang soal-soal yang tidak diatur dalam undang-undang dan peraturan perburuhan yang timbul dalam suatu wilayah diselelsaikan oleh :
a) Kantor-Kantor penyuluh perburuhan di Jawa kecuali Jakarta Raya, b) Kantor-Kantor urusan perselisihan Daerah Jakarta Raya, c) Kantor-Kantor penyuluh perburuhan di Sumatera, d) Kantor-Kantor penyuluh perburuhan di Kalimantan, dan e) Kantor-Kantor Daerah Pengawasan Perburuhan di indonesia Timur.
Apabila suatu perselisihan perburuhan dipadag sangat menyangkut kepentigan negara, kantor pusat urusan perselisihan di Jakarta dapat menyelesaikan perkara itu sendiri. Demikian pula apabila tempat kedudukan pihak engusaha dan pihak buruh yang berselisih tidak didalam satu wilayah yang sama atau perselisihan perburuhan tersebut meliputi buruh didalam lebih dari satu wilayah maka Kepala Kantor Urusan Perselisihan Perburuhan dapat menyelesaikan perkara itu sendiri atau menunjuk salah satu kantor dalam jajaran Kementerian Perburuhan, baik Kantor Penyuluh Perburuhan, Kantor Jawatan Pengawasan Perburuhan ataupun Kantor Daerah Urusan Perselisihan untuk menyelesaikannya.
Kantor-kantor dalam jajaran Kementerian Perburuhan yang bertugas menyelesaikan persaelisihan perburuhan tersebut melakukan penyelesaian perselisihan secara aktif yang bersifat perantara (mediasi) atau perdamaian (konsiliasi) dan atas ersetujuan tertulis dari para pihak yang berselisih dapat pula melakukan penyelesaian perselisihan perburuhan secara arbitrase. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal kemerdekaan, penanganan perselisihan dilakukan olh berbagai instansi perburuhan sesuai dengan sifat dan kasus perselisihannya.
b) Surat Edaran Kementerian Perburuhan R.I. Nomor: PP. 3-8-14/U.3994 Tahun 1950.
Dalam menghadapi banyaknya pemutusan hubungan kerja terhadapt buruh secara besar-besaran, Kementerian Perburuhan pada tanggal 12 Oktober 1950 mengeluarkan Surat Edaran No. PP 3-8-14/U.3994, yang mengharuskan semua pengusaha yang akan mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja secara besar-besaran yakni Pemutusan Hubungan Kerja sedikitnya 10 orang buruh dalam waktu sebulan, agar merundingkan maksud Pemutusan Hubungan Kerja tersebut terlebih dahulu dengan Kepala Kantor Penempatan Tenaga Kerja di Daerah masing-masing.
Surat edaran Kementerian Perburuhan tersebut dibarengi dengan Instruksi Kementerian Perburuhan yang menunjuk Jawatan Penempatan Tenaga Kerja sebagai instansi yang berwajib menyelesaikan Pemutusan Hubungan kerja secara besar-besaran, dengan pertimbangan bahwa PHK secara besar-besaran akan menimbulkan pengangguran dan mengganggu kebijaksaaan pemerintah dalam hal penempatan tenaga sehingga tepatlah bila jawatan penempatan tenaga yang menyelesaikan karena jawatan penempatan tenaga berfungsi untuk mengusahakan perluasan lapangan kerja.
Jikalau ternyata bahwa pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran mempunyai alasan-alasan atau dasar-dasar sosial politik dan sosial teknis, maka jawatan penempatan tenaga meminta bantuan kepada panitia penyelesaian pemberhentian buruh serentak yang terdiri dan Kepala Kantor perwakilan jawatan penempatan tenaga sebagai Ketua dan Kepala Kantor Jawatan Pengawas Perburuhan atau wakil dan Kepala Kantor Penyuluh Perburuhan atau Wakilnya sebagai anggota, sedang sekretariar penitia dipegang oleh jawatan Penempatan Tenaga.
Panitia penyelesaian pemberhentian buruh serentak menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi di daerah sedang masalah- masalah besar dan bersifat nasional, diurus oleh Kementerian Perburuhan. Maksud dari instansi Kementerian Perburuhan tersebut ialah agar kebijaksanaan masalah perburuhan dapat dilaksanakan secara terpadu dengan melihat masalah dan segi sosial ekonomis, sosial politis dan sosial teknis.
c. Peraturan Kekuasaan Militer Pusat nomor 1 Tahun 1951
Peraturan Kekuasaan Militer Pusat Nomor 1 tahun 1951 mengatur tentang tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan dengan jalan membentuk sebuah panitia penyelesaian pertikaian perburuhan atau disingkat Panitia Penyelesaian, yang terdiri dari beberapa instansi terkait yaitu Menteri Perburuhan sebagai Ketua, menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan Umum masing-masing sebagai anggota.
Penyelesaian oleh industri tehnis hanya bersifat perantaraan dan hanya dapat memberikan anjuran yang tidak mengikat terhadap pihak-pihak yang berselisihan. Dengan demikian instansi tidak dapat mengeluarkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu perselisihan perburuhan. Bilamana instansi beranggapan bahwa perundingan-perundingan yang dipimpinnya tidak akan membawa hasil maka instansi harus mengajukan persoalan persleisihan tersebut kepada panitia penyelesaian.
Menurut ketentuan ini, panitia penyelesaian perikaian perburuhan hanya ada di ibu kota Negara, sedang di daerah propinsi dan daerah kotapraja di bentuk instansi.
d. Undang-Undang darurat Nomor 16 tahun 1951
Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 Tahun 1951 dikeluarkan dengan maksud untuk mengatasi keadaan perburuhan yang pada waktu itu dianggap sangat rawan serta membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Pemerintah terus berusaha untuk lebih menyempurnakan tata cara penyelesaian perselisihan perburuhan agar secara maksimal dapat menciptakan suasana hubungan perburuhan yang tenang dan harmonis guna mempercepat langkah melaksanakan pembangunan bangsa dan negara. Usaha itu dilakukan dengan diundangkannya Undang-Undang Darurat Nomor 16 tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, yang mencabut berlakunya Peraturan Kekuasaan Militer Pusat Nomor : 1 tahun 1951.
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 walaun belum sempurna dan bersifat darurat, tetapi materinya lebih lengkap jika dibandingkan dengan nomor 1 tahun 1951 . dalam Undang-undang Darurat ini disebutkan dengan jelas adanya tiga lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yaitu : Pegawai, Juru/Dewan Pemisah, dan Panitia Daerah/panitia Pusat.
Pegawai, ialah pegawai kementerian perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri perburuhan untuk memberikan perantaraan dalam menyelesaikan persleisihan perburuhan yang dimintakan perantaraanya oleh pihak buruh dan pengusaha. Pegawai tidak berwenang mambuat suatu surat keputusan dalam mengakhiri penyelesaian perselisihan perburuhan sebab wewenang pegawai hanya terbatas memberikan perantara berupa anjuran-anjuran yang tidak mengikat baikterhadap buruh maupun pengusaha. Apabila suatu perselisihan perburuhan yang dimintakan perantaraannya oleh pihak buruh dan pengusaha kepada pegawai dan pegawai yang bersangkutan menganggap bahwa perselisihan perburuhan itu tidak dapat diselesaikan secara perantara, maka persoalan perslisihan perburuhan tersebut harus diteruskan kepada panitia daerah.
Juru/Dewan Pemisah, ialah seorang atau beberapa rang yang ditunjuk oleh pihak buruh dan pengusaha yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya dengan jalan arbitrase (perwasitan). Apabila pihak-pihak yang berselisih akan menyerahkan penyelesaian perselisihan perburuhan kepada juru/ dewan pemisah, maka terlebih dahulu membuat surat perjanjian didepan pegawai atau panitia daerah, sedang tata cara penunjukan atau penyelesaiannya diserahkan sepenuhnya kepada kemauan kedua belah pihak.
Panitia Daerah, ialah panitia penyelesaian perselisihan perburuhan yang dibentuk di kota-kota yang ditetapkan oleh Menteri Perburuhan Panitia Pusat, ialah panitia perselisihan perburuhan di Ibu Kota Negara.
Ada beberapa hal yang merupakan perkembangan dalam menyelesaiakan perselisihan perburuhan yang diatur di dalam Undang-Undang ini, yaitu tentang diakuinya peranan pegawai dan juru/dewan pemisah, ini merupakan perkembangan yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya serta mengarahkan buruh dan pengusaha untuk mengadakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan sendiri masalah-masalah perselisihan perburuhan mereka dan tidak selalu bergantung kepada ikut campur pemerintah.
Uniknya Panitia Penyelesaian Perselisihan perburuhan Pusat berhak menyerahkan suatu perkara perselisihan Perburuhan kepada menteri perburuhan untuk diselesaikan dengan jala : a) Memberi perantaraan dan b) Memberi putusan yang berupa anjuran kepada pihak-pihak yang berselisih. Jika usaha-usaha Menteri Perburuhan untuk mengadakan perantaraan tidak memberikan hasil maka berkas perkara perselisihan perburuhan tersebut diserahkan kembali kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat. e) Instruksi Menteri Perburuhan Nomor : 7632/52
Berdasarkan Instruksi Kementerian Perburuhan tertanggal 12 Oktober 1950 Nomor : PP. 3-8-14/U.3994 soal pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran semula harus dirundingkan dengan Kepala Kantor penempatan tenaga kerja setempat, ternyata cara penyelesaiannnya seperti itu tidak affisien dan memakan waktu lama, hal ini disebabkan jawatan penempatan tenaga tidak mempunyai hak berdasarkan undang-undang untuk mengijinkan atau melarang pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Dalam praktek serikat buruh selalu enentang maksud pengusaha yang akan mengadakan pemutusan hubungan kerja dan menjadikan hal tersebut menjadi perselisihan perburuhan. Sedang penyelesaian perselisihan perburuhan merupakan wewenang panitia penyelesaian perselisihan perburuhan pusat.
Pada waktu itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran, sehingga masalah pemutusan hubungan kerja tidak diselesaikan menurut saluran-saluran hukum, akan tetapi karena pada hakekatnya pencegahan PHK merupakan suatu kebijaksanaan dari pemerintah, sehingga dapat dikatakan kebijakan itu dilakukan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat yang terdiri dari wakil Menteri yang duduk di dalam panitia itu.
Hubungan antara Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dengan Jawatan penempatan Tenaga tidak ada sama sekali, sedangkan antara Panitia Penyelesaian Perselisihan perburuhan Pusat dengan Kantor Penyuluh Perburuhan sudah diatur dalam undang-undang darurat.
Berdasarkan kenyataan seperti yang diuraikan diatas, mengingat alasan-alasan praktis serta ecepatan penyelesaian maka untuk menyederhanakan jalanya penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dikeluarkan Instruksi Menteri Perburuhan nomor 7632/52, yang menginstruksikan agar mulai tanggal 1 September 1952 urusan penyelesaian pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran, penanganannya sejak dari awal ditugaskan kepada Kantor penyulu Perburuhan dan tidak lagi dibebankan kepada kantor penempatan tenaga, dengan pengertian bahwa instruksi kementerian bahwa instruksi kementerian perburuhan nomor : PP.3-8-14/U.3994 tahun 1950 masih tetap berlaku sampai adanya perubahan terhadap Panitia Penyelesaian pemberhentian Buruh serentak.
Kantor Penyuluh Perburuhan dalam menangani masalah-masalah pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran yang menyangkut sosial ekonomis dan sosial teknis agar meninta bantuan kepada Jawatan Penempatan Tenaga Kerja Jawatan Penempatan Tenaga Kerja dan jawatan Pengawas Perburuhan dan agar mengadakan pendekatan dengan serikat buruh yang bersangkutan.
f. Undang-Undang Nomor : 22 tahun 1957
Undang-Undnag ini menggantikan Undang-undnag Darurat Nomor 16 Tahun 1951.
Berdasarkan pasal 1 ayat (e) Undang-undang No. 22 tahun 1957, secara tegas untuk yang pertama sekali dikenal sebutan Pegawai yang diberi tugas untuk yang pertama sekali dikenal sebutan Pegawai yang diberi tugas untuk memberikan perantaraan (Pasal 3 ayat (2). Yang dimaksud dengan Pegawai adalah Pegawai Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk memberikan perantaraan dalam perselisihan perburuhan.
Dalam pelaksanaan tugasnya Pegawai Perantara dapat bertindak sebagai Juru Penengah, Juru Pendamai, atau sebagai Juru Pemisah.
Pegawai Perantara bertindak sebagai Juru Penengah, dalam membantu pihak-pihak yang berselisih mengatasi kesulitan-kesulitan pada setiap tingkat perundingan sebelum pihak-pihak yang bersangkutan mengajukan secara resmi kepada Pegawai Perantara mengenai kegagalannya untuk berunding sendiri dan tidak mencapai kesepakatan dalam batas waktu tertentu.
Pegawai Perantara bertindak sebagai Juru Pendamai, apabila atas permintaan salah sati pihak atau pihak-pihak yang berselisih untuk memberikan perantaraan dengan jalan mempertemukan pihak yang bersangkutan serta mengupayakan agar mereka bersedia mengadakan permusyawaratan untuk mencapai mufakat yang kemudian hasilnya dituangkan kedalam suatu persetujuan bersama yang ditanda-tangani oleh pihak-pihak yang berselisih sebagai suatu pernyataan selesainya perselisihan atau PHK.
Pegawai perantara bertindak sebagai Juru Pemisah (srbiter), apabila pihak yang berselisih sepakat menunjuk Pegawai Perantara untuk menyelesaiakan perselisihan dengan syarat bahwa keputusan bersifat mengikat setelah memperoleh pengesahan dari P4-Pusat.
g. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
Untuk yang pertama sekali pada tahun 1964 dilekuarkan undang-undang yang mengatur pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta, yaitu Undang-undnag nomor 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan kerja di perusahaan Swasta, yang mencabut Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europese Arbeiders (Staatsblad 1941 no. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan pasal 1603 oud dan pasal 1601 sampai dengan pasal 1603 yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum didalam undang-undnag nomor 12 tahun 1964 tersebut.
Undang-undang ini dibuat dengan maksud hendak menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja dengan proses yang cepat dan singkat, sehingga semua permohonan ijin PKH langsung diajukan kepada P4-daerah/Pusat, setelah tidak tercapai perundingan bipartit. Ketentuan ini kemudian di intervensi oleh Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor 362/67, tanggal 8 Februaru 1967. Dalam butir 9 dan 10 surat edaran dimaksud secara halus disarankan agar di dalam menyelesaikan kasus PHK memberi tahukan niatnya kepada Kantor resort Departemen Tenaga Kerja setempat.
Selengkapnya dikatakan bahwa dengan tidak mengurangi hak Pengusaha untuk memajukan permohonannya langsung kepada Panitia Daerah/Pusat, sebaiknya memberitahukan niatnya untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja kepada Kantor Ressort Departemen Tenaga Kerja yang bersangkutan. Bilamana diperlukan maka P4 Daerah/P4 Pusat dapat memberikan kuasa kepada kantor Ressort/Daerah Departemen Tenaga Kerja baik secara umum maupun secara khusus untuk mengadakan penyelidikan atas kasus tersebut. Sejak itu dalam prakteknya pegawai perantara ikut berperan dalam menyelesaikan kasus PHK, yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum undang-undang, tetapi sekedar diatur dalam berbagai peraturan Menteri.
Pada tahun 2000, mengawali abad ke dua puluh satu, Pegawai Perantara diakui keberadaan dan keahliannya sebagai suatu profesi dibidang hubungan industrial. Dengan Keputusan Menteri PAN Nomor 40/MEN/PAN/12/2000, tanggal 29 Desember 2000, ditetapkan bahwa jabatan Pegawai Perantara adalah jabatan fungsional.
Selanjutnya perlu kiranya diketahui pada saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-undang tentang Penyeesaian Perselisihan hubungan Industrial, yang sudah hampir segera diundangkan. Dalam undang-undang ini jenis perselisihan hubungan industrial meliputi : a) hak, b) kepentingan, c) pemutusan hubungan kerja, dan d) antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Nama pegawai (perantara) juga diganti menjadi Mediator. Yang dimaksud dengan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri dan dipilih oleh para pihak yang berselisih untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselish untuk menyelesaiakan kepentingan dan persleisihan pemutusan hubungan kerja.
Selanjutnya berikut beberapa kutipan pasal rancangan dimaksud yang kiranya dapat dijadikan bahan dalam pertemuan kali ini.
Bagia Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal 9
1. Penyelesaian perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui mediasi dilakukan oleh mediator di wilayah kerja tempat pekerja/buruh bekerja.
2. Penyelesaian oleh mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada mediator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak.
3. Para pihak harus memilih nama mediator dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab dibanding ketenagakerjaan setempat.
Pasal 10
Untuk dapat diangkat sebagai Mediator harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b) warga negara Indonesia;
c) berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
d) menguasai Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan;
e) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f) memiliki pengalaman penanganan masalah ketenagakerjaan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun; dan
g) syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri
Demikianlah beberapa catatan yang dapat diberikan sebagai bahan informasi. Mudah-mudahan dapat memberikan manfaat.

INKONSISTENSI PASAL-PASAL PADA UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

INKONSISTENSI PASAL-PASAL PADA UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

1. Pasal 11 ayat (1) dengan Pasal 12 ayat (1) UUJF

Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa, “Benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan.”

Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa, “Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.”

Dari kedua ketentuan ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang didaftarkan bendanya atau jaminan fidusianya?

Pasal 1 ayat (2), “Jaminan Fidusia adalah hak atas jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak Khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UUHT yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.” Kemudian Pasal 1 ayat (4), “Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.”

Selanjutnya dalam Pasal 4, “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.” dan Pasal 5 ayat (1), “Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta …… dan merupakan akta Jaminan Fidusia.”

Apabila dilihat dari pengertian benda yang terdapat pada pasal 1 ayat (4), bahwa benda yang dapat dijadikan jaminan fidusia dapat benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar. Kemudian, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang tertuang dalam akta jaminan fidusia sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu. Jaminan fidusia ini menjadi preferen bagi kreditor apabila jaminan fidusia ini didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini dikarenakan kedudukan preferen dijamin karena adanya pendaftaran jaminan fidusia.

Dari pertimbangan di atas, maka menurut saya yang didaftarkan oleh Penerima Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia adalah Jaminan Fidusianya, bukan bendanya. Sesuai dengan pengertian benda pada pasal 1 ayat (4), benda dalam jaminan fidusia dapat benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar. Kemudian dikarenakan jaminan fidusia merupakan perjanjian, maka seperti dalam praktek bahwa dalam perjanjian memuat klausula-klausula perjanjian. Dalam hal ini dalam akta Jaminan Fidusia mungkin mengatur mengenai benda yang menjadi jaminan fidusia. Oleh sebab itu, akta Jaminan fidusia ini perlu didaftarkan untuk menjamin hak kreditur yang preferen. Secara keseluruhan menurut saya, jaminan fidusia cakupannya lebih luas, artinya mencakup benda yang menjadi jaminan fidusia yang sudah tertuang dalam akta Jaminan Fidusia itu sendiri.

2. Pasal 15 Ayat (2) dan (3), 29 Ayat (1) huruf a dengan Pasal 29 Ayat (1) huruf b, c.

Pasal 15 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Sertipikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang setara dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Pasal 15 Ayat (3) menyatakan bahwa, “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.”

Pasal 29 Ayat (1) menyatakan bahwa, “Apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia

dapat dilakukan dengan cara:

  1. pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) oleh penerima fidusia;
  2. penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
  3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF) mengikuti cara eksekusi barang jaminan yang digunakan oleh UU Hak Tanggungan yaitu memberikan alternatif eksekusi barang jaminan fidusia melalui penjualan secara lelang da penjualan di bawah tangan.[1] Eksekusi jaminan fidusia menurur UUJF sebenarnya hanya mengenal dua cara eksekusi meskipun perumusannya seakan-akan menganut tiga cara. Kedua cara tersebut yaitu:

    1. Melaksanakan titel eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia melalui lelang atas kekuasaan penerima fidusia sendiri dengan menggunakan Parate Eksekusi. Arti parate eksekusi menurut kamus hukum, ialah pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses (pengadilan atau hakim). Arti parate eksekusi yang diberikan doktrin adalah kewenangan untuk menjual atas kekuassaan sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan, tanpa harus minta fiat dari ketua pengadilan.[2] Di sinilah letak inkonsistensi dari pasal-pasal tersebut di atas, pengertian Parate Eksekusi di dalam UUJF kurang lebih merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau oleh putusan pengadilan oleh salah satu pihak untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian atau putusan hakim manakala pihak yang lainnya cidera janji. Pasal 15 ayat (2) dan (3) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa sertipiakat jaminan fidusia memiliki title eksekusi yang memiliki kekuatan hukum tetap yang setara dengan putusan pengadilan.

Menurut saya, pelaksanaan title eksekusi ini tidak memerlukan putusan ketua pengadilan negeri untuk pelaksanaannya, hal ini untuk memudahkan dalam eksekusi barang yang dijaminkan secara fidusia. Walaupun dalam prakteknya, eksekusi barang jaminan fidusia tidak dengan mudah dilakukan karena barang yang menjadi jaminan fidusia dikuasai oleh debitor. Diperlukan tindakan pengambil alihan penguasaan terlebih dahulu karena pada umumnya barang jaminan fidusia adalah barang bergerak, berbeda dengan Hak Tanggungan yang perlu pengosongan terlebih dahulu untuk mengeksekusi.

Namun kemudian, dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b merumuskan bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa, “…….. Dalam undang-undang ini dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi jaminan fidusia melalui lembaga eksekusi.” Jika debitor cidera janji, maka pemegang jaminan fidusia dapat melaksanakan janji tersebut dengan menjual lelang atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi). Pemahaman dari penjelasan Pasal 15 ayat (3) terhadap lembaga parate eksekusi, menunjukkan kehendak pembentuk undang-undang melalui penafsiran otentik untuk mengatur lembaga parate eksekusi, maksudnya pengaturan lembaga parate eksekusi masuk dalam ranah Hukum Acara Perdata. Karena eksekusi barang jaminan fidusia dalam UUJF meniru eksekusi Hak Tanggungan pada UUHT, maka kasus yang dihadapi sama dengan inkonsistensi Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 9 UUHT. Ada unsur yang sama dalam eksekusi Hak Tanggungan dengan eksekusi jaminan fidusia, yaitu:

a. Debitor cidera janji;

b. Kreditur penerima jaminan mempunyai hak menjual objek jaminan atas kekuasaan sendiri;

c. Syarat penjualan pelelangan umum;

d. Hak kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

Sebelum ada UUJF, eksekusi barang bergerak yang didikat dengan fidusia pada umumya tidak melalui lelang tetapi dengan mengefektifkan kuitansi kosong yang sebelumnya telah ditandatangani oleh pemilik barang jaminan atau debitor.[3] Pada waktu yang lalu, mungkin tidak ada eksekusi jaminan fidusia yang melalui pelelangan umum. Oleh karena itu, seyogyanya eksekusi barang jaminan fidusia yang telah mempunyai titel eksekusi tidak melalui pelelangan umum. Karena secara umum, pelelangan umum diperlukan suatu keputusan ketua Pengadilan untuk melaksanakan lelang. Sehingga menyimpang dari ketentuan titel eksekusi yang tidak memerlukan campur tangan pengadilan atau hakim dalam pelaksanaan jaminan fidusia.

    1. Menjual objek jaminan fidusia secara di bawah tangan atas dasar kesepakatan pemberi dan penerima jaminan fidusia. Seperti halnya dalam UUHT, maka UUJF ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung beberapa persyaratan yang relatif berat untuk dilaksanakan.

3. Pasal 17 dengan Pasal 28 UUJF

Pasal 17 menyatakan bahwa, “Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.” Penjelasan Pasal 17, “Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitor maupun penjamin pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia karena hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada penerima fidusia.”

Pasal 28 menyatakan bahwa, “Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.”

Dari Pasal 28 di atas, secara logika bahwa objek yang menjadi jaminan fidusia dapat didaftarkan untuk kedua kalinya. Padahal hal ini bertentangan dengan Pasal 17 yang melarang atas benda yang sama yang menjadi objek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian. Dalam praktek, banyak terjadi fidusia ulang terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia. Pasal 17 menjadi bias, karena dalam prakteknya fidusia ulang dapat dilakukan terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia tergantung kepada nilai kredit dan jaminan yang ditanggung oleh jaminan fidusia. Misalkan nilai benda yang menjadi jaminan fidusia Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah), namun debitor mengajukan kredit dengan jaminan fidusia Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Sisa nilai benda ini pada umumnya dapat di fidusiakan ulang untuk memenuhi nilai tersebut. Namun demikian sesuai ketentuan Pasal 28, maka kreditur yang diutamakan apabila perjanjian fidusia lebih dari satu adalah perjanjian fidusia yang jaminannya didaftar terlebih dahulu di Kantor Pendaftaran Fidusia.

UU Ketenagakerjaan dan PRT

UU Ketenagakerjaan dan PRT



Perubahan UU Ketenagakerjaan Bukan Perkara Mudah
SEMARANG, KAMIS - Mengubah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bukan perkara mudah. Perubahan tersebut merupakan sebuah keputusan politik yang memerlukan waktu yang tidak singkat.


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengatakan hal itu dalam seusai acara peletakan batu pertama pembangunan rumah karyawan PT Sango Ceramics Indonesia di Kelurahan Randugarut, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (3/5).
Menurut Erman, perubahan undang-undang tentang ketenagakerjaan tersebut belum ada keputusan. Namun, ia mengatakan, pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan buruh kontrak dan out sourcing diawasi secara ketat.
"Terkait out sourcing, pengawasan dilakukan oleh satuan gabungan antara pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja, " ujar Erman menjawab pertanyaan wartawan terkait demonstrasi buruh pada peringatan Hari Buruh se-Dunia pada 1 Mei lalu yang mendesak dicabutnya UU Ketenagakerjaan.
Erman juga mengakui jika sistem buruh kontrak tidak menguntungkan buruh. Menurut dia, adanya jeda waktu satu bulan jika kontrak diperpanjang, menempatkan buruh berada dalam situasi yang tidak jelas.
Pada masa jeda tersebut, buruh tidak mendapat jaminan pekerjaan yang jelas. Sistem kontrak juga membuat masa depan buruh tidak pasti. "Dalam UU Ketenagakerjaan disebutkan, jika masa kontrak habis, kontrak bisa diperpanjang, artinya, bisa dilanjutkan sekaligus juga bisa diputus, " kata Erman.
Terkait permintaan dari organisasi pekerja rumah tangga (PRT) yang menuntut hak mereka disamakan dengan karyawan lainnya, Erman menjawab sulit untuk memutuskan hal tersebut.
Menurut Erman, ada dua hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, hingga kini belum ada kejelasan apakah PRT dimasukkan ke dalam UU Ketenagakerjaan atau tidak karena PRT bekerja dalam wilayah keluarga.
Kedua, terkait PRT yang menuntut digaji setara upah minimum regional, Erman mengungkapkan, gaji yang diterima PRT selain dalam bentuk cash, juga menerima fasilitas lain, seperti tempat menginap, makan, dan pengobatan.
Jika fasilitas-fasilitas tersebut dihitung dalam bentuk uang, jumlahnya juga besar. "Jadi, pembahasan mengenai tuntutan PRT tersebut masih kami kaji, " jelas Erman.

DEPNAKERTRANS SETUJU SISTEM OUTSOURCING DIHAPUSKAN

DEPNAKERTRANS SETUJU SISTEM OUTSOURCING DIHAPUSKAN


jakarta, kompas. Peluang penghapusan sistem kontrak dan pemborongan pekerjaan (outsourcing) dalam perekrutan tenaga kerja makin menganga lebar. Setelah lama tidak mengambil sikap,selasa(12/5) Departemen tenaga kerja dan transmigrasi (Depnakertrans) menyatakan akan mengusulkan revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang didalamnya yang mengatur kedua sistem ini.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno beralasan, beleid itu menjadi batu sandungan instansinya menelurkan kebijakan penghapusan sistem kontrak dan outsourcing. "Menurut saya, kebijakan sistem kontrak perlu dihapus. Bekerja kok ada kontrak? Harus ada terobosan. Harus direvisi (undang-undangnya)," katanya kemarin. Sebagai catatan, sistem kontrak dalam UU Tenaga Kerja diatur Pasal 56-60. Adapun outsourcing masuk dalam Pasal 64-66.

Kendati begitu, Erman buru-buru menyatakan bahwa usulan ini masih harus dibahas di Badan Pekerja Forum Tripartit Nasional yang beranggotakan pemerintah, pengusaha, dan pekerja "Semua stakeholder harus bicara dalam revisi UU ini, jangan hanya dari pemerintah," ungkapnya

Sikap pemerintah ini mendapat tanggapan beragam. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Bangunan dan Pekerjaan Umum Sjukur Sarto mengatakan, jika sistem kontrak dihilangkan, perlu ada penyederhanaan tiga hal, yaitu pesangon, pensiun, dan jaminan hari tua.

Menurut Sjukur, semestinya tiga beban pengusaha ini bisa dijadikan satu. Selain itu, pekerja yang masa kerjanya cuma tiga tahun semestinya tak perlu dapat pesangon. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi meminta, jika sistem kontrak dihapus, upah minimum regional harus dibuat berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja. "Bukan lagi ditentukan pemerintah," tandasnya.

Ketua Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Yanuar Rizky malah memandang langkah pemerintah ini hanyalah wacana populis menjelang pemilihan presiden. Buktinya, "Pemerintah tidak pernah menindak pengusaha yang melakukan sistem kontrak yang salah," tegasnya. (Hans Henricus B, Anna Suci/Kontan)

Buruh dalam Tirani Globalisasi

Tanggal 1 Mei lalu kaum buruh sedunia, tak terkecuali di Indonesia, merayakan hari penting mereka. Tanggal 1 Mei, Mayday, dikenal sebagai hari buruh internasional, hari di mana momen-momen penindasan terhadap buruh serentak direfleksikan dan diekspresikan lewat aksi protes mereka secara bersama-sama. Di Indonesia, pada peringatan Satu Mei belum lama ini puluhan ribu buruh di berbagai kota menuntut kesejahteraan hidup yang lebih layak.[1]


Hari buruh tersebut pada awalnya diperingati untuk mengenang peristiwa pemogokan 350 ribu buruh yang diorganisir Federasi Serikat Buruh Amerika Serikat (AS) pada 1 Mei 1886 di banyak tempat di AS, menuntut waktu kerja 8 jam sehari। Mengapa peristiwa 1 Mei itu kemudian menjadi hari buruh internasional?


Asal Mula Mayday


Sabtu, 1 Mei 1886 di Chicago, AS. Hari yang cerah itu berubah kelabu kala pemogokan buruh di kota itu demikian menyeluruh, membuat segala aktivitas kota menjadi lumpuh. Dua hari setelahnya kepolisian kota menembaki pemogok hingga korban berjatuhan. Peristiwa ini memicu amarah di kalangan buruh. Aksi damai massa di lapangan Haymarket-Chicago pada hari-hari berikutnya pun menelan banyak lagi korban, menyusul pelemparan bom yang melukai 70 petugas keamanan. Tak menemukan sang pelaku, kepolisian kota malah menangkap 8 aktivis buruh hanya karena mereka dianggap pemimpin buruh yang revolusioner. Kisah ini berujung tragis: kedelapan aktivis itu dijatuhi hukuman mati.


Gelombang protes pun semakin menggunung, juga dari belahan negeri lain. Sejak 1890, 1 Mei akhirnya untuk pertama kalinya dirayakan sebagai hari buruh internasional. Akan tetapi, lewat perjalanan waktu percik api yang menjalar itu justru padam pula di sumbernya: peringatan hari buruh di AS kian lama kian redup, kebanyakan masyarakat AS lupa tentang sejarah ini. Ketika lebih dari satu abad kemudian 1 Mei di banyak negeri kini dikenang oleh kaum buruh sebagai momen perlawanan mereka, dan bahkan diakui secara resmi di banyak negara, justru di "kampung halamannya" 1 Mei telah dilupakan. Sejak era histeria anti-komunis Perang Dingin, masyarakat AS memilih perayaan hari buruh 1 Mei diubah menjadi "hari kesetiaan" pada negara, dan digeser ke setiap Senin pertama di bulan September dengan argumentasi ringan: hari (Senin) itu akan merupakan hari libur yang pas untuk mengisi jeda panjang antara hari kemerdekaan, 4 Juli, dan hari syukuran (thanksgiving day) di bulan November. [2]


Mayday dan Nasib Buruh di Indonesia


Di Indonesia sendiri, dinamika aksi buruh dalam hampir satu dekade terakhir terjadi dalam rima yang fluktuatif yang menunjukkan bahwa aksi-aksi buruh selama ini, termasuk aksi peringatan 1 Mei, belum mampu secara berarti mempengaruhi kebijakan politik nasional. Selama masa Reformasi, sepanjang 1999-2007, aksi buruh terbanyak terjadi pada tahun 2001 (sekitar 357 kali), sementara partisipasi buruh dalam aksi paling banyak terjadi pada tahun 2000: melibatkan sedikitnya 730.922 buruh.[3] Secara teoritis gelombang demonstrasi buruh mestinya lebih besar lagi terjadi pascapengesahan UU No.13 tahun 2003 yang melegalkan sistem kontrak dan praktek outsourcing. Akan tetapi hal ini tidaklah terjadi, terutama karena dua sebab: daya tawar-menawar buruh yang terus melemah dan semakin ciutnya lapangan kerja bagi mereka.


Sebetulnya pada masa sebelum Orde Baru buruh mendapat tempat yang relatif lebih baik dibanding sekarang: tanggal 1 Mei dirayakan sebagai hari buruh dan hukum perburuhan Indonesia masa itu – dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya – dianggap paling melindungi buruh. Tapi kini waktu tak lagi memihak buruh. Terutama sejak zaman peralihan ke era Orde Baru seiring dengan kebijakan percepatan industrialisasi, buruh perlahan diseret kembali ke dalam kesengsaraan tak berujung. Meminjam frase John Ingleson (2004), menjadi buruh di negeri ini ibarat tubuh dengan "tangan dan kaki terikat!"


Padahal catatan sejarah menyebutkan bahwa organisasi-organisasi buruh Indonesia, terutama berakar pada sektor transportasi dan perkebunan, memainkan peran penting dalam babak-babak melawan penjajahan yang penuh kekerasan. Didirikan pada tahun 1910-an, organisasi-organisasi buruh bahkan lebih dahulu ada ketimbang partai-partai politik dan beragam organisasi massa lain. Pemerintahan Hindia Belanda tentu saja dengan keras memberangus berkembangnya kelompok radikal gerakan buruh yang dipengaruhi oleh perkembangan Partai Komunis Indonesia (PKI).[4]


Penghancuran PKI oleh koalisi yang dipimpin tentara, kelas menengah perkotaan, juga kepentingan kaum pemilik tanah pasca-1965 berdampak pada terkikisnya tradisi keserikatburuhan politik. Sejak 1970-an hingga tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto buruh dihalang-halangi oleh sistem otoriter yang hanya memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh bikinan pemerintah (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Kebijakan ini merupakan bagian dari depolitisasi buruh yang selalu diiringi dengan dokrtin bahwa buruh dan pengusaha haruslah harmonis dan keduanya saling membutuhkan. Tentu peristiwa bersejarah tumbangnya diktator Soeharto dan rezim Orde Baru telah membebaskan upaya pengorganisasian buruh dari sekian rintangan yang telah lama ada.


Akan tetapi ketika para elite – baik lama maupun baru– tampil berkolaborasi dalam satu wadah politik yang demokratis agenda Reformasi pun dibajak. Para buruh dan serikat buruh umumnya tidak mampu terlibat dan akhirnya ditinggalkan. Sejak beberapa tahun lalu buruh selalu menuntut pencabutan Undang-Undang No.13/2003 karena memeras mereka. Tapi pada 2006 UU tersebut malah sempat akan direvisi demi memfasilitasi penanam modal asing dan mengundang mereka menanamkan modal jauh lebih banyak lagi. Padahal penanam modal enggan bertandang terlebih karena sistem birokrasi negeri ini yang sangat korup.


Fleksibilitas Pasar Kerja


Karena menuai gelombang protes keras dari buruh, revisi untuk semakin melenturkan UU No.13/2003 berujung dengan rencana dikeluarkannya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pesangon. Di balik RPP tersebut ialah upaya melenturkan pasar kerja yang didesakkan oleh organisasi-organisasi keuangan multilateral seperti Bank Dunia melalui Badan Perencana Pembangunan Nasiona (Bappenas). Pemerintah juga terus memperlonggar aturan yang menurutnya masih kaku, di mana peranan negara (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi/Depnakertrans) – harus dibatasi sesedikit mungkin dalam hal hubungan industrial, dan semuanya diserahkan dalam mekanisme pasar agar pasar kerja menjadi semakin lentur/fleksibel.


Menurut Bappenas, agenda terpenting dari perubahan kebijakan ketenagakerjaan oleh pemerintah mencakup (1) perubahan kebijakan ketenagakerjaan yang diintegrasikan ke dalam satu paket kebijakan dengan rencana pertumbuhan investasi, seperti perpajakan, perijinan investasi, dan lain-lain; dan (2) mengintegrasikan perubahan kebijakan ketenagakerjaan dengan konteks pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran. Bagi pemerintah, kebijakan pasar kerja yang fleksibel yang telah tercermin di dalam UUK 13/2003 (terutama pada pasal 59-66)[5] dipandang masih perlu lebih dilenturkan.[6]


Karenanya fleksibilisasi pasar kerja merupakan upaya liberalisasi di bidang perburuhan di Indonesia yang diterapkan dengan memperlonggar aturan-aturan dalam pasar tenaga kerja dan diserahkan pada mekanisme pasar. Konsep ini biasa disebut dengan Pasar Tenaga Kerja Fleksibel (labor market flexibility) yang juga biasa disingkat dengan Fleksibilitas Ketenagakerjaan (labor flexibility). Sistem perburuhan fleksibel memungkinkan pengusaha untuk "memberi kerja lalu mem-PHK" buruh dengan sangat mudah sesuai kebutuhannya. Dalam prakteknya, sistem ini diterapkan melalui berbagai pola outsourcing (subkontrak) dan pelembagaan perusahaan-perusahaan (biasanya berbentuk yayasan) yang memberi layanan berupa tenaga kerja siap pakai.


Dampak Fleksibilitas Pasar Kerja bagi Buruh


Meskipun secara legal sudah ada peraturan yang memberikan landasan hukum atas penerapan fleksibilitas pasar kerja, tetapi di kalangan buruh penolakan-penolakan atas penerapan sistem ini masih gencar dilakukan. Hal ini disandarkan pada kondisi nyata yang tercipta akibat liberalisasi sistem ketenagakerjaan ini, yang justru telah menghilangkan berbagai jaminan dan perlindungan bagi para buruh. Seringkali didapati di lapangan bahwa hak-hak buruh kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas, periode kontrak yang keluar dari aturan Undang-Undang (misalnya kontrak satu tahun yang terus diperpanjang lebih dari tiga kali, atau di antara kontrak ada jeda waktu satu bulan).


Karena tujuan utama fleksibilisasi perburuhan adalah untuk menghilangkan semua hambatan bagi gerak kapital, maka pelemahan atas serikat buruh adalah salah satu upaya penting bagi rezim fleksibilisasi perburuhan ini. Fungsi perlindungan negara terhadap buruh dan serikat buruh 'dipaksa' oleh kapital untuk dihilangkan melalui berbagai mekanisme ekonomi politik. Para buruh kontrak dan outsourcing pada umumnya tidak mendapatkan fasilitas apapun kecuali gaji pokok, selain harus membayar semacam komisi kepada penyalurnya setiap bulan.[7]


Berikut ini beberapa bentuk dari masalah dan dampak dari fleksibilisasi perburuhan melalui penggunaan tenaga kerja kontrak dan outsourcing:



KATEGORI MASALAH

BENTUK-BENTUK MASALAH

DAN DAMPAK FLEKSIBILITAS PASAR KERJA

Praktek kontrak dan outsourcing

1. Saat ini outsourcing sebagai bentuk fleksibilitas pasar kerja dapat ditemukan di hampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi.

2. Situasi konkrit yang ditemukan di lapangan menunjukkan bentuk fleksibilitas pasar kerja adalah penggantian status buruh tetap menjadi buruh kontrak.

3. Maraknya penggunaan buruh outsourcing di bagian-bagian produksi atau bagian inti pekerjaan yang sebenarnya dilarang oleh UU 13.2003

4. Hak-hak buruh kontrak dan outsourcing menjadi tidak jelas

5. Periode kontrak yang keluar dari aturan undang-undang (misalnya kontrak 1 tahunan) dalam prekteknya terus diperpanjang lebih dari 3 kali. (di antara kontrak ada jeda waktu satu bulan)

6. Perusahaan seringkali melepas buruh tetap yang aktif di serikat dan menggantinya dengan buruh kontrak

7. Semakin maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) tiba-tiba dengan pemberitahuan singkat atau tanpa pemberitahuan samasekali sebelumnya.

8. Penyedia jasa tenaga kerja belum tentu merupakan perusahaan yang berbadan hukum

Kondisi kerja


1. Fleksibiitas pasar kerja menciptakan kesenjangan antara buruh tetap dan buruh kontrak/outsourcing dalam bentuk pembedaan fasilitas, upah, status kerja, padahal mereka elakukan pekerjaan yang sama

  1. Terjadinya fleksibilisasi waktu kerja. Melalui penerapan sistem kerja yang berbeban lebih (skorsing), maka buruh tidak tetap dapat dipekerjakan tanpa batasan jam kerja dan tanpa upah. Sebagian memperoleh upah lembur namun sebagian tak memperoleh upah lembur.

3. Pada buruh tidak tetap, hal ini membuat mereka bekerja tanpa ketetapan batasan jam kerja. Sementara bagi kelompok buruh tetap, mekanisme ini mengurangi tingkat pendapatan yang mereka peroleh karena perusahaan lebih condong menyerahkan pada buruh tidak tetap.

4. Selama ini penggantian buruh tetap menjadi kontrak sering dilakukan dengan menutup perusahaan begitu saja tanpa memberikan hak-hak buruh. Modus yang banyak terjadi adalah pabrik tutup tiba-tiba dan para pengelola atau pemiliknya menghilang.

Kesejahteraan

  1. Terjadinya degradasi kesejahteraan dan kondisi kerja para buruh. Kondisi kerja mereka memburuk dan terjadi penurunan upah riil yang diterima buruh.
  2. Para buruh kontrak dan outsourcing pada umumnya tidak mendapatkan fasilitas apapun kecuali gaji pokok, selain harus membayar semacam komisi kepada penyalurnya setiap bulan. Tidak ada tunjangan dan fasilitas bagi buruh tidak tetap (kontrak/outsourcing) seperti yang diterima buruh tetap walaupun mereka melakukan jenis pekerjaan yang sama.

Peranan serikat buruh

  1. Fleksibilitas pasar kerja secara tidak langsung mematikan hak buruh untuk memperjuangkan kepentingannya dan mematikan hak mogoknya. Tuntutan dan pemogokan oleh buruh outsourcing dapat dengan mudah direspon pengusaha dengan PHK.
  2. Fleksibilitas pasar kerja semakin melenyapkan serikat buruh dengan cara sistematis menghilangkan buruh tetap yang menjadi basis serikat buruh.
  3. Serikat buruh semakin menghadapi masalah serius dalam pengorganisasian serikat: berkurangnya jumlah anggota buruh dan sulitnya membangun solidaritas di kalangan buruh.

Sistem suplai/rekrutmen tenaga kerja

Banyak kasus di lapangan menunjukkan rekrutmen tenaga kerja kini tak lagi sepenuhnya berada di tangan perusahaan berdasarkan perhitungan kebutuhan dan target produksi, akan tetapi harus dikombinasi dengan intervensi penyalur tenaga kerja yang ikut menentukan berapa banyak tenaga yang akan direkrut dan kapan harus dilepas. Buruh yang berkinerja baik dan punya prospek untuk terus dipekerjakan atau bahkan dinaikkan statusnya dapat diputus hubungan kerjanya karena pihak penyalur tidak bersedia memperpanjang kontrak dan memilih menggantikannya dengan buruh lain.

Kelemahan birokrasi

1. Sangat lemahnya pengawasan terhadap penerapan pasal-pasal mengenai buruh kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), buruh outsourcing dan pemberian pesangon PHK di dalam UU 13/2003.

2. Kecenderungan terjadinya perluasan cakupan pekerjaan untuk buruh outsourcing dan penggunaan tenaga kontrak yang melebihi batas ketentuan hukum serta banyaknya kasus PHK tanpa pesangon yang jelas berlangsung tanpa mendapat sanksi hukum yang berarti.

3. Faktor pertama yang menjadi sumber kelemahan tersebut adalah kegagalan peran aktor penegakan hukum perburuhan khususnya Disnaker yang secara normatif menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan hukum perburuhan. Kelemahan mendasar terjadi karena lemahnya profesionalisme kerja birokrasi Disnaker.

4. Sumber kelemahan birokrasi lainnya adalah praktek korupsi dan keterlibatan aparat dalam praktek bisnis outsourcing. Dianggap kurang strategisnya peran Disnaker dalam peningkatan PAD juga membuat Disnaker tidak menjadi instansi yang mendapat perhatian istimewa dalam kebijakan-bijakan pemerintah daerah. Hal ini sekaligus menggambarkan lemahnya perhatian pemerintah daerah pada kebijakan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.

Sumber: Diolah dari Kertas Posisi "Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara", Jakarta: LIPS-Labsosio UI-Akatiga-Prakarsa, 2007.


Globalisasi dan Kekuasaan Negara


Saat ini jelas negara memiliki peran lebih besar dalam melancarkan gerak kapital, di mana kita lebih mudah melihatnya sebagai fenomena bertemunya dua kepentingan – yaitu elite pejabat (negara) dan pengusaha (kapital) – yang satu sama lain saling menguntungkan. Identitas antara kepentingan negara dan kapital terlihat semakin dekat, dan ini terlebih merupakan desakan dari atas, yakni kapital atas negara.


Secara teoritis sebenarnya, seperti diungkapkan Wood,[8] bahwa kolaborasi negara dan kapital tersebut seharusnya melahirkan partisipasi politik yang lebih besar dari warga untuk menentang kebijakan negara yang lebih memihak kapital. Kedekatan identitas antara kepentingan negara dan kapital telah mendorong rakyat untuk turun ke jejalanan menentang kebijakan neoliberal. Ini adalah asumsi teoritis. Tetapi seberapa sahih argumentasi Wood untuk konteks Indonesia? Mencermati konteks dan sejarah depolitisasi yang kuat dan lama atas rakyat di negeri ini, sepertinya relatif sulit untuk mengharap 'ramalan' Wood di atas terjadi secara berarti.


Mungkin kita perlu memaknai kembali konsep negara, yakni "negara" adalah "kita". Maksudnya, negara merupakan arena bagi siapapun dan ruang pertarungan kepentingan kelompok manapun, termasuk pengusaha. Sudah lama kita menganggap bahwa negara dan tindakan politik sebagai "di luar" aktivitas kita; dan selama itu pula para pengusaha yang terus mampu mengorganisir diri dengan baik dan dengan kemampuan mobilisasi sumber daya dapat 'menguasai' arena negara. Mereka mampu mempengaruhi pemerintah dan beraliansi dalam suatu rezim kekuasaan.


Tidak heran jika "Globalisasi dari Atas" (baca: desakan kapital) selalu lebih canggih dan sulit dibendung oleh "Globalisasi dari Bawah" (resistensi gerakan rakyat). Kelompok-kelompok masyarakat sipil dan gerakan rakyat selalu tertinggal dan sering tidak optimal dalam memanfaatkan banyak peluang yang diciptakan globalisasi; ironisnya, solidaritas masyarakat sipil Utara-Selatan terus mengalami krisis di mana organisasi masyarakat sipil di negara maju (Utara) tidak rela jika hutang negara berkembang (Utara) dihapuskan dengan alasan berakibat mengancam 'kesejahteraan' mereka selama ini.[9] Padahal, aliansi negara dan kapital bukanlah kejadian yang deterministik dan tak dapat diubah, sebab kedua entitas itu secara inheren juga memiliki potensi perpecahan.


Misalnya, dari sekitar 97 ribu jumlah pengusaha yang tercatat hanya 10 ribu saja yang menjadi angota Asosialsi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan sangat sedikit mereka yang aktif.[10] Jadi, fenomena ini mirip dengan apa yang berlaku dalam organisai perburuhan di mana dari total angkatan kerja di sektor formal (utamanya manufaktur sebesar 12 persen dari angkatan kerja), hanya dua persen saja dari mereka yang berserikat; tentu saja yang aktif jumlahnya jauh lebih sedikit.


Seperti dinyatakan Wood, saat ini "kapital membutuhkan negara untuk mengelola kondisi-kondisi yang ajeg bagi kepentingan akumulasi, untuk menciptakan buruh yang berdisiplin, dan untuk mempercepat mobilitas kapital sementara di saat yang sama, menekan pergerakan tenaga kerja".[11] Fenomena ini tentu terjadi karena arena negara benar-benar 'dikuasai' oleh kepentingan pengusaha, politisi, pejabat, dan aparat negara; dan karena prosedur demokrasi sampai saat ini belum mampu memfasilitasi kepentingan publik yang lebih luas.


Perlu segera dicatat di sini bahwa yang menjadi soal bukanlah adanya pengusaha, politisi, elite pejabat, atau aparat negara. Mereka adalah sekelompok warga yang dapat menjadi elite oligarkis yang selalu ada dalam fenomena kekuasaan manapun. Yang menjadi masalah ialah pengawasan dan disiplin dalam pengorganisasian politik: Sejauh mana rakyat mampu mengawasi mereka dan menetapkan aturan yang adil, terutama bagi mereka yang paling kurang beruntung. Mekanisme pengawasan ini seharusnya terinstitusionalisasi. Selain itu, kita juga perlu merehabilitasi makna "politik dan negara" yang selama ini relatif dangkal.

Namun demikian, kasus di Indonesia sekaligus menunjukkan antitesa dari posisi Wood di atas, bahwa "kini kapital lebih membutuhkan negara". Di Indonesia tidak jarang yang terjadi adalah bahwa dengan posisi tawar-menawar yang relatif tinggi kapital kerap berbuat sewenang-wenang. Kita terus diperlihatkan banyak kasus pelanggaran hak warga yang dilakukan pengusaha: pabrik tutup tiba-tiba dan buruh ditinggal kabur pengusaha; PHK buruh sewenang-wenang dan pesangon tidak dibayarkan; dengan alasan kinerja perusahaan menurun, upah buruh sekian bulan belum dibayarkan... Daftar kasus di atas masih dapat diperpanjang, tetapi yang pasti negara terlihat tidak berdaya.


Semantara itu, kebijakan yang relatif paling baik dari yang terburuk bagi buruh yang dihasilkan melalui advokasi kebijakan yang panjang oleh para aktivis, misalnya, sering kali menjadi percuma karena tidak dapat diberlakukan, atau tidak dapat ditegakkan. Sektor bisnis kini cenderung kian menjadi "dunia yang lain" yang tidak dapat disentuh bahkan oleh negara sekalipun. Negara malah tampak "lebih membutuhkan kapital" dengan alasan untuk menciptakan lapangan kerja, meski harus rela membuat aturan yang melanggar hak-hak dasar warga. Negara menjadi bawahan kapital. Undang-Undang yang diciptakan, misalnya, selalu memiliki celah untuk dapat diperdebatkan sehingga UU sengaja dibuat tak lebih dari sekadar pernyataan tentang suatu kebijakan (statement of policy), yang tujuannya kelak agar dapat ditafsirkan oleh Peraturan Pemerintah (misalnya dibuatnya Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pesangon) berdasarkan kepentingan kolaborasi negara dan kapital. Bagaimana menghadapi kondisi ini?


Deglobalisasi sebagai Solusi


Untuk melawan fleksibilisasi pasar kerja dan globalisasi kapital, kita perlu memikirkan konsep "deglobalisasi". Seperti kita tahu, globalisasi tidak lain adalah cerita tentang bagaimana kapital transnasional yang kuat menggerus ekonomi-ekonomi lokal seperti terjadi dalam gerak pertama dari kerangka analisis Karl Polanyi tentang gerakan ganda di mana "pasar yang mengatur dirinya sendiri" (self-regulating market; baca: kapitalisme) memperluas cakupan komodifikasinya hingga mencakup juga berbagai bidang yang tadinya dalam masyarakat prakapitalisme masih termasuk dalam wilayah bukan pasar, termasuk di dalamnya bidang kehidupan. Menurut pandangan ini, globalisasi menimbulkan banyak ketercerabutan masyarakat karena hancurnya sistem sosial yang logikanya kian dikebawahkan semata-mata pada logika pasar. Secara ekonomis hal ini berarti hancurnya ekonomi-ekonomi lokal, dan globalisasi sekali lagi adalah kisah tentang termarjinalkannya komunitas ekonomi, sosial, dan budaya lokal.[12]

Karenanya, dalam hal menghidupkan kembali komunitas, budaya dan ekonomi nasional, perlu upaya melawan globalisasi ini dengan melakukan apa yang disebut sebagai gerakan deglobalisasi di atas. Ide deglobalisasi secara singkat merupakan upaya membongkar kekuatan korporasi dan pasar keuangan global, dan merupakan upaya membangun kembali hubungan sosial, komunitas, lingkungan, dan ekonomi domestik.[13] Tentu gagasan ini tidaklah sederhana, dan salah satu prasyaratnya ialah memampukan negara berperan melindungi warga.


Kini kita semakin ditantang untuk mengembangkan gerakan deglobalisasi dengan terus mencari bentu-bentuk kongkritnya. Dalam melawan penjajahan terselubung ala neoliberalisme, amat penting bagi gerakan buruh negeri ini berpikir bahwa gerakan rakyat yang efektif adalah yang menyambungkan antara perjuangan ekonomi dengan politik, serta beraliansi dengan gerakan rakyat lain. Kembali ke perjuangan politik adalah langkah awal untuk mengembalikan hak-hak rakyat dan agar "tangan dan kaki bangsa ini yang terikat" dapat segera bebas bergerak.***


(Dimuat di
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Newsletter, Edisi Mei 2008) .


[1] Lihat misalnya The Jakarta Post, 2 Mei 2008; Kompas, 2 Mei 2008; Koran Tempo, 2 Mei 2008.

[2] Baru pada peringatan Mayday pada 2006 lalu Amerika Serikat mengalami titik balik, di mana jutaan orang turun ke jalan di kota-kota besar dan kecil di negeri itu. Tiwon menulis bahwa "..Bendera-bendera Mexico, El Salvador, Brasil dan negara-negara Amerika Latin/Selatan berkibar bersama wajah Che Guevara pada poster-poster besar. Serikat-serikat buruh dan pekerja lainnya juga turun ke jalan untuk mendukung buruh imigran maupun untuk menuntut perbaikan kondisi kerja di AS sendiri. Cukup banyak juga pernyataan-pernyataan anti perang Irak dan protes terhadap pemerintahan Bush." Lihat Tiwon, Sylvia, "Mayday di AS: Ironi Globalisasi," http://indoprogress.blogspot.com/2006/05/may-day-di-as-ironi-globalisasi.html.

[3] Jurnal Perburuhan Sedane, 2005; LIPS, Labor Update 2007.

[4] Pada 1950-an dan awal 1960-an, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang didukung PKI adalah organisasi buruh yang paling aktif dan kuat di antara banyaknya organisasi buruh yang memiliki kaitan dengan partai politik. SOBSI sangat berpengaruh, misalnya, dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di akhir 1950an. Namun kebijakan darurat militer dan kontrol pengelolaan atas perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya menempatkan tentara pada posisi yang kemudian malah berhadapan langsung dengan kelompok-kelompok militan gerakan buruh. Lihat Hadiz, Vedi R, "The Politics of Labour Movements in Southeast Asia," dalam Mark Beeson (ed.), Contemporary Southeast Asia: Regional Dynamics, National Differences, Basingstoke dan New York: Palgrave Macmillan, 2004; diterjemahkan berjudul "Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara," dalam Jurnal Kajian Perburuhan Sedane, Vol.3 No.2, 2006, h.5-36.

[5] Pasal-pasal 59 – 66 mengatur penggunaan tenaga kerja kontrak dan tenaga kerja outsourcing (ILO, 2004).

[6] Meskipun UU 13/2003 hanya mengatur fleksibilisasi status kerja melalui penggunaan tenaga kerja kontrak dan outsourcing, namun pada kenyataannya fleksibilisasi ini juga menghasilkan fleksibilisasi upah dan jam kerja (FPBN, 2006).

[7] Nugroho, Hari, dan Indrasari Tjandraningsih, Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara, Jakarta: LIPS-LABSOS UI-AKATIGA-PRAKARSA, 2007.

[8] Wood, Ellen Meiksins, "Labor, Class and State in Global Capitalism" dalam Ellen Meiksins Wood, Peter Meiksins dan Michael Yates (eds), Rising from the Ashes: Labor in the Age of "Global" Capitalism, New York: Monthly Review Press, 1998.

[9] Seperti diungkapkan Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Don K Marut, 30 April 2008 pada diskusi INFID di Jakarta.

[10] Data berdasarkan pernyataan salah satu pengurus Apindo, Hasanudin Rahman, dalam diskusi Demos, 2 November 2007 di Jakarta.

[11] Wood, Ellen Meiksins, Op.Cit.

[12] Imam, Robert H, "Globalisasi: Proses dan Wacana Kompleks serta Konfliktual," dalam I Wibowo et al., (eds), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Kanisius, 2006, h.171.

[13] Lihat Bello, Walden, Deglobalizaation. Ideas for a New Worrd Economy, London & New York: Zed Books, 2004.