Jumat, 07 Agustus 2009

UU Ketenagakerjaan: Menolak UU Perbudakan Modern

UU Ketenagakerjaan: Menolak UU Perbudakan Modern
Puluhan kelompok buruh mengajukan hak uji material atas UU Ketenagakerjaan. Mereka menganggap, regulasi itu hanya melanggengkan ”perbudakan modern”.

Yus Ariyanto
Api kemelut yang disulut pengesahan uu no. 13/2003 tentang ketenagakerjaan masih saja berkobar. Rabu silam, 22 individu dari kelompok buruh mengajukan permohonan hak uji material (judicial review) atas regulasi yang mulai berlaku pada 25 maret 2003 itu.

Para pemohon uji material itu, di antaranya, adalah tokoh-tokoh Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia; Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin; Sekjen Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI); Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta; dan Gaspermindo. Dalam rilisnya, para pemohon mengklaim mewakili jutaan buruh di seluruh Indonesia. Jadi, permohonan itu dinilai representatif untuk memperjuangkan kepentingan banyak buruh.












Alasan mendasar penolakan tersebut adalah pemberlakuan UU Ketenagakerjaan itu bakal melegalisasi ”perbudakan modern” di Indonesia dengan menjadikan buruh Indonesia sebagai ”buruh kontrak” seumur hidupnya dengan upah yang murah alias tanpa kesejahteraan yang layak.
Secara teknis hukum, terdapat deretan panjang catatan mereka. Yaitu, UU Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedural penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang yang patut. Persisnya, karena undang-undang ini dibahas dan disahkan dengan ketiadaan naskah akademis yang memberi dasar pertimbangan ilmiah. Padahal sebuah ”naskah akademis” itu penting agar tidak terjadi salah perhitungan dan kesalahan logika terhadap dampak keberadaan sebuah undang-undang.

Lalu, penyusunan UU Ketenagakerjaan diwarnai kebohongan publik yang dilakukan DPR. Menurut pemohon, DPR mengklaim bahwa kalangan buruh telah dilibatkan dalam pembahasan melalui tim kecil yang terdiri dari wakil-wakil organisasi buruh. Pada kenyataannya, ”Tim kecil ini tidak lebih dari rekayasa DPR untuk memberi pembenaran terhadap upaya mereka memaksakan golnya undang-undang a quo. Ini terbukti dengan adanya bantahan dari beberapa serikat pekerja/serikat buruh....”

Selanjutnya, UU Ketenagakerjaan dibuat semata lantaran tekanan kepentingan modal asing ketimbang kebutuhan nyata buruh Indonesia. Yaitu, hasil pesanan Bank Dunia yang mewakili kepentingan modal internasional yang melihat buruh melulu sebagai hambatan bagi investasi dan pembangunan ekonomi.

Para pemohon menengarai pula, UU Ketenagakerjaan menempatkan buruh sekadar faktor produksi yang begitu mudah diangkat untuk kemudian dipecat saat tak dibutuhkan lagi. Dengan demikian upah sebagai salah satu komponen biaya tetap bisa ditekan seminimal mungkin. Inilah yang terjadi dengan dilegalkannya sistem outsourcing (pekerja lepas).
Peletakan buruh hanya selaku faktor produksi juga membikin hak buruh untuk mogok dibatasi. Di dalam Pasal 137 tercantum, ”Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah dan tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.” Para pemohon beranggapan, pasal ini jelas melanggar standar perburuhan internasional. Sebab membatasi alasan mogok hanya sebagai akibat ”gagalnya suatu perundingan”.

Di dalam praktik relasi perburuhan, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengakui kebebasan buruh dan serikat buruh menggunakan hak mogok untuk mempertahankan dan melindungi hak-hak buruh dan hak-hak serikat buruh, misalnya dalam hal menyatakan rasa solidaritas terhadap pelanggaran hak buruh di tempat lain.

Terakhir, UU Ketenagakerjaan banyak memberikan cek kosong kepada pemerintah sehingga cenderung executive heavy. Terbukti, untuk pelaksanaannya, UU Ketenagakerjaan memandatkan pembuatan minimal 5 undang-undang, 12 peraturan pemerintah, 5 keputusan presiden, dan 30 keputusan menteri.
Berdasarkan hal-hal di atas, para pemohon meminta Mahkamah Agung agar menyatakan UU Ketenagakerjaan untuk sementara tak berlaku sampai hadirnya keputusan berkekuatan tetap dan final atas perkara ini. Lantas, dalam pokok perkara, dinyatakan bahwa UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, tidak sah dan tidak berlaku umum, serta memerintahkan Presiden RI dan DPR untuk mencabut UU Ketenagakerjaan.

Tentu saja, yang langsung tersodok dengan permohonan uji material ini adalah DPR. Namun, Surya Chandra, mantan Ketua Pansus DPR untuk UU Ketenagakerjaan, menyatakan, ”Silakan saja. Itu kan hak mereka sebagai warga negara. Kita harus menghormatinya. Silakan saja Mahkamah Agung memprosesnya.”
Itu secara prosedural. Secara substansial, jelas Surya mempertahankan ”hasil karya” korpsnya di Senayan. Menurut Wakil Ketua Komisi VII ini, kalangan buruh itu memang telah apriori dengan undang-undang ini. ”Apa pun isinya pasti akan mereka tolak,” katanya.

Menyangkut tak dilibatkannya kalangan buruh, Surya membantah pula. ”Ada puluhan organisasi buruh yang ikut dalam pembahasan,” ujarnya. Tokoh buruh dari FNPBI, Dita Indah Sari—salah satu yang paling keras menolak UU Ketenagakerjaan—juga hadir pada pertemuan-pertemuan pertama dalam tim kecil itu. Jadi, tak ada masalah menyangkut ihwal keterwakilan.

Asumsi bahwa UU Ketenagakerjaan ini melegalisasi ”perbudakan modern”, misalnya dalam legalisasi konsep outsourcing, juga ditampik. Justru, soal outsourcing ini mesti diatur agar tak muncul ”perbudakan modern”. Menurut Surya, outsourcing adalah fenomena ketenagakerjaan yang umum di seluruh dunia. Memang, mereka bukan karyawan tetap di tempatnya bekerja. Tapi, mereka adalah karyawan tetap di perusahaan outsourcing bersangkutan.

Surya menegaskan, UU Ketenagakerjaan tak dibuat asal jadi dan tergesa-gesa. Buktinya, sejak pembahasan hingga pengesahan undang-undang ini butuh waktu hingga dua tahun. Memang, masih ada kekurangan. Yaitu, undang-undang ini masih harus dilengkapi dengan aturan lebih rendah. Ini terjadi lantaran DPR masih dalam masa transisi. ”Kalau sudah mantap, bahkan hal-hal yang teknis pun akan kita atur dan tak perlu di-back-up peraturan pemerintah yang terlalu banyak,” kata Surya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar