Selasa, 11 Agustus 2009

Kebijakan Pembatasan Pemakaian Kendaraan

Kebijakan Pembatasan Pemakaian Kendaraan
Rabu,05 Agustus 2009 12:41
MP Imamsoedjana
Asdep Urusan Analisis Kebijakan Publik Iptek
Deputi Bidang Dinamika Masyarakat

KENDARAAN di Jakarta akan sulit bergerak alias macet pada 2014. Pernyataan itu disampaikan Gubernur OKI pada akhir 2007. Pernyataan itu didukung alasan klasik, yaitu tidak seimbangnya jumlah kendaraan dan panjang jalan di OKI Jakarta yang membuat wilayah Ibu Kota akan menjadi neraka bagi pemilik kendaraan. Saat ini, jumlah kendaraan di OKI Jakarta mencapai 5,8 juta unit dengan pertumbuhan 9% per tahun dalam lima tahun terakhir. Sementara itu, kendaraan yang masuk ke Jakarta per harinya mencapai 700 ribu unit. Sayangnya, pertumbuhan kendaraan itu tidak diimbangi penyediaan atau penambahan infrastruktur jalan yang pertumbuhannya sangat lambat. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dengan luas jalan 40,1 km2 atau 6,2% dari luas OKI Jakarta.

Pada sisi lain, dinyatakan bahwa jumlah angkutan umum hanya 2% dan harus mampu melayani 56% perjalanan atau 9,6 juta penjalanan per hari. Sementara itu, kendaraan pribadi yang tingkat perjalanannya 44% dilakukan kendaraan bermotor yang jumlahnya 98%. Berdasarkan kondisi itu, ancaman kemacetan total di Jakarta diperkirakan akan terjadi pada 2014. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Gubernur DKI dan Menteri Pekerjaan Umum pernah menyampaikan kesimpulan rapat tentang transportasi yang dipimpin langsung Wapres Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Rabu 12 Desember 2007, antara lain: penegasan aturan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi mutlak dilakukan guna menghindari kebuntuan persoalan kemacetan di Jakarta. Lebih lanjut Gubernur menambahkan: jika tidak dilakukan serangkaian langkah termasuk pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, Jakarta akan macet total pada 2011, bukan 2014 seperti perkiraan sebelumnya. Itu karena penambahan jumlah kendaraan pribadi bukan lagi luar biasa, melainkan pertambahan kendaraan pribadi yang eksplosif.

Pembatasan kendaraan bermotor
Dominasi kendaraan pribadi yang lalu lalang di jalan harus dikendalikan. Tidak mengherankan apabila salah satu penyebab kemacetan adalah volume kendaraan pribadi yang melebihi ambang batas daya dukung jalan. Dominasi itu pun merupakan wujud dari ketidaktersediaan angkutan umum yang memadai, angkutan umum yang belum mampu mengakomodasi para pengguna jalan. Padahal dominasi kendaraan pribadi mempunyai fungsi yang sangat rendah dalam mengangkut pengguna jalan. Oleh karena fungsi kendaraan pribadi yang sangat rendah daya angkutnya jika dibandingkan dengan kendaraan umum, sudah selayaknya pemerintah daerah mampu menciptakan keseimbangan kendaraan yang mampu mengangkut orang dalam melakukan perjalanan. Upaya pembatasan merupakan salah satu langkah yang paling mudah diucapkan atau ditulis, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Karena upaya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi akan menuai berbagai kendala di lapangan. Salah satunya adalah pengekangan penggunaan kendaraan pribadi yang melekat dengan hak kepemilikan kendaraan. Wajar apabila pemilik kendaraan mempunyai hak dalam memanfaatkan sarana dan prasarana jalan yang ada.

Upaya pembatasan bisa dilakukan dengan tidak mengurangi hak pemilik kendaraan pribadi. Seperti diketahui, kendaraan memerlukan areal parkir, baik di sisi jalan, maupun di dalam areal bangunan atau gedung perkantoran atau pusat aktivitas ekonomi. Areal perparkiran itu bisa dijadikan salah satu upaya untuk pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Karena pemilik kendaraan pribadi akan kebingungan manakala kesulitan mendapatkan areal parkir. Apalagi beberapa saat yang lalu Pemerintah Daerah Jakarta pernah menertibkan kendaraan yang parkir tidak pada tempat yang ditentukan. Kalau tindakan itu dilakukan terus menerus, tentu akan menciptakan sikap para pemilik kendaraan pribadi untuk tertib. Akan tetapi, hal itu tidak dilakukan secara berkelanjutan.

Keterbatasan areal parkir bisa merupakan salah satu kunci untuk 'memaksa' pemilik kendaraan pribadi enggan menggunakan kendaraan. Apabila areal parkir terbatas, ditambah lagi biaya parkir yang cukup mahal, akan menjadi pertimbangan tersendiri menggunakan kendaraan pribadi. Seperti diketahui, pada saat ini untuk memanfaatkan jasa perparkiran dikenai biaya parkir yang relatif murah. Saat ini biaya parkir rata-rata Rp2.000 per jam untuk kendaraan roda empat, sedangkan untuk kendaraan roda dua Rpl.000 per jam. Kalau dihitung lama kerja 6 jam per hari, untuk kendaraan roda empat akan me-ngeluarkan biaya parkir 6 x Rp2.000 = Rpl2.000, sedangkan untuk kendaraan roda dua: 6 x Rpl.000 = Rp6.000. Suatu nilai yang relatif terjangkau jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan dari makin banyaknya penggunaan kendaraan pribadi. Akan tetapi, bila biaya ini dinaikkan menjadi lima kali atau lebih mahal menjadi Rp10 ribu per jam per kendaraan roda empat dan Rp5.000 per jam per kendaraan roda dua, para pemakai kendaraan pribadi akan berhitung, mana yang lebih efisien, menggunakan kendaraan umum yang rata-rata jauh dekat hanya Rp5.000 atau menggunakan kendaraan pribadi.

Perlu Kebijakan tersendiri
Mengingat kondisi tersebut, sudah selayaknya pemerintah daerah harus berupaya mengimbau pengurangan pemakaian kendaraan pribadi. Pekerjaan itu tidaklah mudah. Perlu kajian yang mendalam untuk menentukan kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Kebijakan yang bisa dilakukan adalah menentukan biaya parkir per jam per kendaraan yang tinggi di semua areal parkir. Yang diikuti penghapusan semua areal parkir yang ilegal, menindak pengelola jasa perparkiran yang tidak melaksanakan ketentuan yang berlaku. Itu bisa dilakukan. Apalagi dalam menentukan besaran biaya parkir harus ditentukan atau didasarkan pada peraturan daerah yang sudah ada sehingga penetapan biaya parkir yang mahal memiliki payung hukum.

Di samping itu, kebijakan yang ada dalam pembatasan penggunaan kendaraan pribadi pada kawasan tertentu yang dikenal dengan tiga penumpang pada satu kendaraan (3 in 1) perlu ditinjau ulang. Berbagai dampak sosial ekonomi muncul dengan pemberlakuan kawasan 3 in 1 ini. Salah satunya adalah munculnya 'joki' 3 in 1 sehingga upaya meningkatkan kawasan ini lebih efisien dalam mengangkut penumpang kurang berhasil. Karena jumlah penumpang yang ada dalam tiap kendaraan adalah penumpang 'semu', sedangkan penumpang sebenarnya yang tidak atau belum tertampung atau terangkut oleh angkutan umum masih berjubel di pemberhentian angkutan umum.

Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian terhadap kawasan 3 in 1 untuk diubah menjadi kawasan khusus kendaraan umum. Kawasan khusus kendaraan umum adalah kawasan yang lalu lalang hanya kendaraan umum yang meliputi: bus Trans-Jakarta, bus patas AC atau non AC, Kopaja, Mikrolet, dan taksi. Dengan demikian, kendaraan umum menjadi primadona pada kawasan khusus angkutan umum. Pemberlakuan kawasan kendaraan umum pun variatif, seperti yang berlaku pada kawasan 3 in 1, yaitu kawasan khusus angkutan umum berlaku mulai pukul 07.00 WIB-10.00 WIB dan pukul 16.30 WIB-19.00 WIB setiap hari kerja. Tentu upaya itu pasti akan banyak menuai pro dan kontra karena banyak pihak yang diuntungkan maupun dirugikan dengan pemberlakuan kawasan khusus angkutan umum. Namun, upaya itu wajar guna mengurangi ataupun membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Walaupun demikian, pasti akan terjadi dampak kemacetan yang luar biasa di kawasan sekitar kawasan khusus angkutan umum, tapi ini semua merupakan satu konsekuensi bagi semua penggunaan kendaraan pribadi, jika setiap kendaraan pribadi adalah pencetus kemacetan, pencetus daya dukung sarana jalan terlampaui. (Media Indonesia, 5 Agustus 2009/ humasristek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar