Selasa, 11 Agustus 2009

Menyiasati Rendahnya Adopsi Iptek

Menyiasati Rendahnya Adopsi Iptek
Selasa,11 Agustus 2009 06:41
Fathoni Moehtadi
Asdep Urusan Pemberdayaan SDM Iptek,
Kementerian Negara Riset dan Teknologi


Visi untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hingga kini tampaknya masih lebih banyak sebagai wacana ketimbang sebagai kesadaran yang perlu direalisasikan. Kondisi tersebut terjadi karena daya kapabilitas dan kompetensi masyarakat dalam memahami, mengadopsi, memproduksi dan mentransformasikan iptek secara umum masih belum seperti yang kita harapkan. Ini tercermin pada capaian Index Daya Saing Global dimana pada bidang pendidikan dan pelatihan, Indonesia, menurut World Economic Forum (2005-2008), menduduki peringkat ke-71 dari 134 negara.

Rendahnya adopsi teknologi bukan hanya merebak di kalangan masyarakat. Di kalangan pemerintahan sendiri terdapat gejala yang sulit dijelaskan dengan bahasa awam. Secara substansial, tidak ada pemerintah, baik pusat maupun daerah yang menolak kehadiran iptek. Namun, tengoklah berapa besar komitmen pemerintah dalam pengembangan iptek. Selain kelembagaan iptek yang tidak banyak dikehendaki kehadirannya di beberapa daerah, sumberdaya manusia yang melek iptek dan pengalokasian anggaran adalah indikator paling mudah diamati, sejauh mana suatu pemda menaruh perhatian pada iptek.

Di atas semuanya, terdapat budaya yang belum kondusif bagi pengembangan iptek, bukan hanya di kalangan masyarakat awam, melainkan juga di komunitas ilmiah. Lihat saja, berapa banyak perguruan tinggi yang secara formal seharusnya merupakan produsen iptek (research university), namun masih lebih banyak berfungsi sebagai penyalur iptek (teaching university). Ciri utama dari perguruan tinggi seperti ini adalah belum membudayanya kegiatan litbang sebagai salah satu langkah awal dalam upaya penemuan dan pengembangan iptek, seperti dicanangkan dalam tridharmanya. Perguruan tinggi yang tidak membangun budaya pengembangan iptek sebenarnya belum sempurna menjalankan tugasnya. Oleh karena dikawatirkan tumbuh budaya lain yang tidak sejalan dengan fungsi-fungsi yang diembannya.

Argumentasi yang melatarbelakangi kondisi tersebut bisa sangat beragam, baik dari perspektif ekonomi, sosial-politik, budaya maupun lingkungan. Dari perspektif ekonomi, besarnya cadangan kekayaan sumber daya alam seringkali dijadikan sebagai argumentasi dalam menunda program pengembangan iptek. Tidak sedikit juga kelompok ekonom yang memandang iptek lebih banyak sebagai cost center ketimbang profit center (mesksipun dalam jangka pendek hal ini memang benar), yang menimbulkan pemborosan dan penghamburan dana di masa sulit ini.

Demikian pula dari perspektif sosial-politik yang masih memandang kehadiran iptek sebagai hal yang dapat memperuncing ketimpangan sosial, menciptakan pengangguran, menambah kemiskinan maupun dominasi kekuasaan oleh sekelompok elit. Itu sebabnya penguasaan iptek oleh sekelompok masyarakat masih ada yang memandang sebagai alat pembelah masyarakat. Bahkan masih segar dalam ingatan kita, penggunaan metode-metode ilmiah dalam penghitungan suara yang sudah lazim dipergunakan di negara maju, masih juga menjadi momok yang menakutkan, sampai Mahkamah Konstitusi mengizinkan penggunaan metode tersebut sebagai bagian menyeluruh dari romantika kehidupan berdemokrasi.

Sedangkan dari perspektif budaya, pengembangan dan penguasaan iptek seringkali harus menghadapi kekawatiran akan tergerusnya sistem nilai dari tradisi dan budaya nenek moyang. Teknologi informasi dan komunikasi yang telah berkembang sedemikian cepat, bisa menjadi dilema. Apakah kita biarkan kita diterkam oleh teknologi itu, atau justru teknologi itu kita kuasai dan kendalikan untuk tujuan-tujuan mulia mengentaskan masyarakat dari gagap teknologi? Fakta membuktikan, ketidak seimbangan informasi kadang berujung pada ketidakmerataan keuntungan ekonomi dan finansial.

Sementara dari perspektif lingkungan, terdapat stigma yang cenderung melihat teknologi sebagai faktor dominan yang memiliki potensi untuk merusak lingkungan. Pandangan ini tidak jarang muncul dari mereka yang mengartikan iptek dalam arti terbatas. Meskipun pandangan ini semakin lama semakin berkurang, namun perlu diantisipasi potensi resistensinya. Kini justru harus disadari bahwa pemanfaatan iptek yang bijaksana yang akan mencegah terjerumuskannya masyarakat dan bangsa ini dari kemerosotan dan kemunduran kualitas lingkungan.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua pihak mempunyai sikap yang negatif terhadap pengembangan iptek. Terdapat beberapa pemda yang secara konsisten dan berkesinambungan mempunyai komitmen kuat untuk mengembangkan daerah dan warganya dengan berbasis iptek. Untuk mendorong dan memberikan motivasi bagi daerah-daerah yang sudah mempunyai tetapi belum kuat dalam mewujudkan di dalam program dan kegiatannya, suatu pernghargaan yang lebih bersifat jungkitan moral pantas dipersembahkan. Dengan cara ini, maka pemda yang selama ini senantiasa menggaungkan slogan penuh dengan jargon iptek, tetapi belum tecermin dalam kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki, kelembagaan yang mendukung pengembangan iptek, sarana dan prasarana iptek, program-program yang menggairahkan berkiprahnya insan-insan untuk berkreasi dan berinovasi serta pengalokasian anggaran iptek, agar segera sadar. Tanpa kehadiran iptek, suatu bangunan daya saing yang menempatkan posisi unggul suatu daerah di antara daerah lain merupakan "hil yang mustahal", kata almarhum Asmuni.

Mendorong dan memotivasi pemda untuk semakin banyak memanfaatkan kandungan iptek dalam pengembangan program dan kegiatan bukanlah pekerjaan mudah. Meskipun demikian, hal penting tersebut perlu ditempuh. Penghargaan kepada inovator dan inventor sebenarnya sudah lama dilakukan selama ini. Paling tidak setiap memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas), Kementerian Negara Riset dan Teknologi senantiasa memberikan penghargaan kepada peneliti di litbang untuk penemu/pengembang iptek, pihak industri yang dalam proses produksi menggunakan kandungan dan sarana dan prasarana iptek, dan anggota masyarakat (grass root) yang terbukti dengan penemuannya telah berjasa secara signifikan bagi diri dan lingkungan masyarakatnya. Untuk katregori peneliti tahun 2009 ini telah berpindah ke Depdiknas, sedangkan di KNRT muncul kategori baru untuk penghargaan, yaitu pemerintah daerah kota/kabupaten.

Penghargaan dan apresiasi diberikan kepada pemerintah daerah kota/kabupaten di seluruh Indonesia yang sudah menempatkan iptek sesuai dengan maqomnya. Ini sekaligus mengingatkan pemda yang masih lebih banyak terbuai mengejar citra dan kemegahan membangun berbagai monumen dan gedung raksasa yang efektivitasnya dipertanyakan. Tulisan ini sekaligus ingin menggaris bawahi pada penghargaan itu, bahwa di tengah berbagai gegap gempita dan pesta politik yang mengharu biru seluruh anak bangsa, terdapat pemda yang masih peduli pada peran iptek untuk mengangkat derajat dan martabat rakyat yang telah memberikan kepercayaan mengatur daerah dan memberdayakan sumberdaya manusia dan masyarakat setempat. (Harian Media Indonesia, Selasa 11 Agustus 2009/humasristek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar