Selasa, 11 Agustus 2009

Problema Penelitian di Indonesia

Problema Penelitian di Indonesia
Rabu,22 Juli 2009 08:12
Mujianto
Kepala Biro Umum Kementerian Negara Riset dan Teknologi

DALAM beberapa pekan ini ada sebuah kasus yang menjadi perbincangan banyak orang. Kasus mengenai makin banyak peneliti Indonesia dengan jenjang pendidikan tertinggi PhD tidak mau bekerja di lembaga penelitian Indonesia. Mereka memilih bekerja di luar negeri. Ada banyak alasan yang dikemukakan mengapa para peneliti ini hijrah ke luar negeri. Di antaranya fasilitas, penghargaan, dan pendapatan yang lebih besar.

Kasus semacam itu bukan hanya sekali dua kali. Itu sudah berlangsung cukup lama. Banyak orang pintar dari Indonesia yang 'dibajak' untuk bekerja di perusahaan asing. Bahkan negara-negara maju telah mengincar anak-anak jenius sejak duduk di bangku SMA atau mereka yang memenangi Olimpiade Sains. Tentu tidak bisa dipandang remeh persoalan semacam ini.

Tidak dimungkiri masalah kesejahteraan menjadi persoalan utama. Semua itu juga bersumber pada anggaran pemerintah untuk iptek yang sangat minim. Secara langsung atau tidak langsung berdampak pula pada nasib peneliti yang masih amburadul. Selama ini tunjangan untuk peneliti belum layak. Jauh jika dibandingkan dengan tunjangan kesejahteraan untuk guru dan dosen.

Persoalan lain yang mendasari munculnya kasus di atas adalah iptek yang diharapkan sebagai soko guru perekonomian belum menjadi daya tarik atau fokus utama dalam pembangunan. Jajaran departemen pun belum satu visi dalam memandang iptek sebagai soko guru perekonomian.

Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman pernah menyatakan pengembangan dan inovasi teknologi adalah cara meningkatkan kemakmuran dan daya saing suatu negara. Meski begitu, Indonesia hingga saat ini belum mampu menjadikan inovasi teknologi sebagai faktor pendorong peningkatan produktivitas nasional. Itulah faktor mendasar yang menyebabkan kegiatan penelitian di Indonesia tidak menonjol.

Persoalan iptek di dalam negeri telah lama menjadi kemelut. Di satu sisi ada pandangan bahwa inovasi teknologi bisa meningkatkan produktivitas ekonomi. Di sisi lain, ekonomi yang makmur harusnya bisa mengalokasikan dana untuk melakukan pengembangan riset dan inovasi teknologi.

Minimnya anggaran juga muncul karena perhatian pemerintah terhadap iptek masih rendah sehingga seperti telah dikemukakan di atas kegiatan riset tidak bisa dilaksanakan secara optimal.

Di lain pihak, kalangan industri pun belum akrab dengan hasil inovasi dalam negeri karena mereka lebih memilih hasil rekayasa luar negeri yang begitu cepat menghasilkan teknologi baru.

Padahal pemerintah melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi telah melakukan upaya menjembatani hubungan antara pemerintah, akademisi sebagai periset, dan bisnis. Dalam merangkai hubungan ketiga unsur tersebut, Kementerian Negara Riset dan Teknologi telah menciptakan strategi kebijakan dan insentif dengan tiga unsur, yakni akademisi baik negeri maupun swasta, pemerintah, dan bisnis. Pemerintah juga telah mendorong sinergi ketiga unsur itu, melalui insentif fiskal, dan pajak.

Peraturan pemerintah
Apabila persoalannya memang terletak pada minimnya anggaran, seharusnya tidak perlu terjadi. Sebetulnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan.

Dalam peraturan pemerintah itu telah diatur dengan jelas tentang penggunaan anggaran penelitian. Perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi serta hasil kerja sama kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan diri.

Namun pada kenyataannya peneliti belum memanfaatkannya karena belum adanya prosedur teknis tentang tata cara penggunaan anggaran alih teknologi. Itu menimbulkan kesan peraturan pemerintah tersebut kurang membumi dan mandul. Padahal dalam peraturan pemerintah tersebut telah diatur bahwa pendapatan sebagaimana yang dimaksud bisa membantu meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan.

Pendapatan yang diperoleh dari hasil riset itu juga bisa dimanfaatkan untuk memberikan insentif yang diperlukan, untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan invensi di lingkungannya.

Royalti
Satu hal lagi yang perlu diingat bahwa masalah yang dihadapi para peneliti sekarang ini, selain anggaran dan riset yang tidak berkembang, penghargaan berupa royalti. Sampai sekarang pemerintah belum memberikan aturan yang jelas tentang standar minimal proporsi royalti yang diterima peneliti terhadap hasil temuannya yang telah dipatenkan.

Di negara-negara maju, royalti yang diterima para peneliti atau penemu akan menjadi pemasukan, nilai tambah, dan penghargaan yang diberikan masyarakat, atas hasil riset yang bermanfaat.

Untuk itu, pemerintah harus memberikan penegasan atas pembagian royalti terhadap penemuan dan hasil rekayasa iptek. Pembagian yang jelas itu bisa membantu para peneliti tetap bertahan hidup dari pekerjaan sebagai peneliti. Bila hal-hal semacam itu diperhatikan dengan saksama, masalah eksodus besar-besaran yang dilakukan para peneliti ke luar negeri tidak akan terjadi.

Jadi sebetulnya tidak ada kata terlambat untuk memulai kembali. Para peneliti yang masih setia menjadi periset di dalam negeri bisa memanfaatkan fasilitas dan kemudahan-kemudahan dalam menjaring kemitraan, sebagaimana telah diatur lewat berbagai peraturan pemerintah.

Lebih penting lagi selain persoalan di atas, semua unsur harus memahami secara betul bahwa iptek bisa menjadi soko guru perekonomian. Ini bukan sekadar teori, melainkan sudah dibuktikan di banyak negara maju. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan sumbangsih terbesar dalam pendapatan negara. (Media Indonesia, 22 Juli 2009/ humasristek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar