Selasa, 11 Agustus 2009

UN Meningkatkan Mutu Pendidikan Kita?

UN Meningkatkan Mutu Pendidikan Kita?
Oleh: Khaerudin

Anjing menggonggong kapilah tetap berlalu. Ini peribahasa yang paling pas untuk menganalogikan banyaknya kritik atas keberadaan dan penyelenggaraan UN di negeri kita tercinta. Para pengamat dan praktisi pendidikan yang tidak setuju dengan penyelengaraan UN biarkan saja dengan berbagai argumentasinya, dan UN tetap terus berjalan dengan berbagai rasionalisasinya. Dan memang filosofi ini dirasakan ampuh untuk menyelenggarakan UN tanpa pantang mundur, sehingga UN masih dapat terus berjalan sejak puluhan tahun lalu hingga saat ini (cukup dengan mengganti nama). Kali pertama “ujian akhir nasional” diselenggarakan pada tahun 1965 dengan nama Ujian Negara. Penggunaan istilah Ujian Negara berlangsung sampai tahun 1971. Mulai tahun 1972 - 1979, model ujian yang terpusat sempat ditiadakan, dan diganti dengan Ujian Sekolah. Namun mulai tahun 1980 - 2000, “ujian nasional” kembali digelar dengan nama “EBTANAS”, dan pada tahun 2001 sampai sekarang kembali lagi ganti “baju” dengan nama UAN/UN.
Setelah sekian puluh tahun, “UN/UAN” dilaksanakan dengan biaya yang tidak sedikit (milyaran rupiah), apakah UN mampu mendorong dan mendongkrak kualitas pendidikan kita. Pertanyaan ini patut disampaikan, karena menurut pihak penyelenggara UN, tujuan utama diselenggarakannya UN adalah untuk mendorong dan mengukur kualitas pendidikan. Pertanyaannya adalah setelah sekian puluh tahun UN dilaksanakan, apakah kualitas pendidikan kita telah berhasil ditingkatkan atau sebaliknya semakin merosot?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu disepakati terlebih dulu apa itu kualitas pendidikan atau pendidikan berkualitas.
Bila kita menilai kualitas sesuatu tentu kita harus menggunakan kriteria yang jelas sebagai indikatornya. Sesuatu dikatakan berkualitas kalau sesuatu itu telah memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Nah kalau kita akan menilai kualitas pendidikan, apa yang seharusnya kita gunakan sebagai kriteria. Di sinilah saya pikir, yang menyebabkan perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra terhadap UN selama ini. Saya melihat, mereka yang pro dengan UN menggunakan angka-angka hasil UN sebagai kriteria menentukan kualitas pendidikan kita. Mereka yang berhasil mendapat skor di atas skor minimal (5,5 untuk tahun 2009) dinyatakan lulus. Sekolah yang berhasil meluluskan 100% siswanya dinyatakan sebagai sekolah yang berkualitas? Apa iya???
Kelompok yang kontra dengan UN memandang bahwa kalau untuk melihat kualitas pendidikan hanya dilihat dari seberapa banyak siswa yang lulus dari UN, sungguh sangat menyedihkan. Karena kita tahu bahwa UN memiliki banyak sekali kelemahan, diantaranya: standar yang ditetapkan sangat rendah (tidak bisa dijadikan sebagai kriteria suatu kualitas), belum lagi penyelenggaraannya yang sangat diragukan karena banyaknya kecurangan, dan yang paling penting adalah UN hanya mengukur aspek kognitif, padahal kita tahu bahwa tujuan pendidikan kita bukan semata-mata mendidik dan menghasilkan anak yang memiliki pengetahuan, tetapi adalah menghasilkan anak-anak bangsa yang cerdas, berkepribadian, beriman & bertaqwa, sehat jasmani dan rohani, dst. Aspek-aspek inilah yang seharusnya dijadikan sebagai kriteria kualitas pendidikan kita. Karena ini adalah amanah dari UU Pendidikan kita.
Baik sekarang kita bicara fakta. Apa yang telah dihasilkan oleh anak-anak bangsa ini yang telah diuji secara nasional dalam rentang lebih dari 30 tahun. Oke, kita telah menyaksikan ada sejumlah anak-anak kita yang telah berhasil menjadi juara olimpiade di leval internasional atau bahkan dunia. Pertanyaannya adalah apakah mereka dididik dalam suatu sistem pembelajaran yang sama dengan mereka yang dipersiapkan menghadapi UN? Apakah prestasi tersebut dapat dijadikan sebagai indikator kualitas sistem pendidikan kita? dengan kata lain bukankah prestasi tersebut karena faktor potensi individu yang sangat dominan (karena memang dasar anaknya genius)? Jadi jelas, prestasi-prestasi itu sifatnya kasuistis. Prestasi itu terjadi karena faktor individu yang lebih dominan, bukan karena faktor sistem pembelajaran kita yang mendorongnya seperti itu. Dengan demikian kita tidak bisa menggunakan prestasi-prestasi tersebut sebagai bukti kualitas pendidikan kita. Karena pendidikan kita mencakup jutaan anak bangsa.
Bukti-bukti yang sangat kuat akan rendahnya mutu pendidikan kita terlihat dari sejumlah hasil survey dan penilaian yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional, seperti Trends in International Mathematic and Science Study (TIMSS), Programme for International Student Assessment (PISA), Progresss in International Reading Literacy Study (PIRLS), The International Association for the Evaluation of Educational Achievement, dan lembaga-lembaga lainnya. Hasil study yang dilakukan oleh PIRLS tentang kemampuan membaca pada anak-anak kelas 4 SD di seluruh dunia menunjukkan prestasi yang sangat rendah. Anak-anak kita dinilai tidak mampu (1) mengidentifikasi, membedakan, dan menunjukkan detail peristiwa yang ada dalam bacaan, (2) menginterpretasi dan mengintegrasikan ide antar bacaan, (3) mengenal dan menginterpretasikan bahasa-bahasa gambar dan pesan abstrak, (4) menguji dan mengevaluasi struktur cerita, dan (5) menjelaskan hubungan antara tindakan, peristiwa, perasaan dalam bacaan. Sementara itu PISA menempatkan anak-anak kita dalam hal literasi membaca pada posisi 48 pada tahun 2006, dalam hal literasi matematika pada posisi 50, dan dalam hal literasi sains pada posisi 53. Satu hal yang patut kita tahu bahwa lembaga-lembaga internasional tersebut melakukan penilaian atas kualitas pendidikan tidak hanya dilihat dari aspek kognitif, dalam hal ini kemampuan menjawab soal pilihan ganda, tetapi mereka menilainya secara komprehensif. Dan inilah sesungguhnya yang menunjukkan indikator kualitas pendidikan kita secara lebih komprehensif.
Pertanyaannya lagi adalah dimana dampak UN yang selama ini dilakukan dengan memakan biaya yang sangat besar?
Bagaimana pendapat Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar