Selasa, 11 Agustus 2009

PENDIDIKAN DI INDONESIA: BEBERAPA CATATAN AKHIR TAHUN 2007

PENDIDIKAN DI INDONESIA: BEBERAPA CATATAN AKHIR TAHUN 2007
Posted by: Ahmad Rizali

Keterpurukan pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia publik dan rangkaian permasalahanpun seolah olah tidak pernah habis dibincangkan. Belum usai soal kecurangan Ujian Nasional, masyarakat dikejutkan lagi dengan beban wajib pembelian buku yang masih terjadi dikota besar, meskipun sudah dilarang dengan Peraturan Mendiknas. Kita dikejutkan pula dengan adanya hiruk pikuk sertifikasi Guru dan uji publik RUU Badan Hukum Pendidikan. Sekalipun demikian, masyarakat belum melihat dengan jelas, apa cetak biru pemerintah untuk menanggulangi persoalan yang menggunung itu, harapan agar pendidikan menjadi lebih baik belum terjawab.

Sebagai praktisi pendidikan yang berlatar belakang bidang teknik,penulis dan jejaring aktivis pendidikan merangkum persoalan strategis pendidikan di Indonesia dalam beberapa topik besar selain program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 Tahun dan tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dan mengusulkan program kongkrit berjangka pendek.

CACAT DALAM PERATURAN PERUNDANGAN

UU No. 20 Thn 2003 Ttg Sisdiknas merupakan produk perundangan tentang pendidikan di Indonesia yang memiliki cakupan terluas,dibanding UU ttg Pendidikan sebelumnya,namun proses politik yang tidak mulus, membuat UU ini memiliki cukup banyak cacat isi dan ideologis sejak lahir, salahsatunya adalah penetapan MajlisTaklim sebagai pendidikan nonformal yang harus berijin dan sangsi tahanan 10 tahun atau denda 1 Miljar jika dilanggar. Pasal yg belum diatur dengan PP ini harus disikapi dengan benar,jika tidak ingin menyebabkan konflik horisontal. Oleh sebab itu,UU ini wajib diperbaiki atau sedikitnya beberapa cacat UU tersebut harus dipermak didalam Peraturan Pemerintah. Beberapa PP yg seharusnya sudah disahkan, sejak Tahun 2005, hingga saat ini belum diselesaikan.

Guru dan Tenaga Kependidikan boleh bernafas lega,karena disahkannya UUGD yang berpihak kepada mereka, setidaknya yang berstatus PNS, meskipun menuntut mutu terbaik dalam mengajar dalam bentuk sertipikat kompetensi, meskipun indikator yang akan diukur masih banyak menimbulkan polemik dan belum memiliki difinisi dengan jelas. Tetapi, UU di Indonesia terbiasa mulur mungkret, sehingga cukup banyak masalah yang disisakan dalam PP yang baru dirancang menyertainya, padahal seharusnya paling telat Tahun 2007 harus selesai. UUGD dan rancangan PPGD yang juga masih cacat harus diperbaiki dan koreksi kembali karena masih menyisakan persoalan antara lain diskriminasi antara guru swasta dan PNS serta belum memiliki nafas selaras dg UU no 23 Thn 2000 tentang perlindungan anak & konvensi Hak Anak, serta pengakomodasian status guru senior yang sudah tidak mampu lagi memperoleh jenjang akademis D4/S1.

Pemerintahan juga menyisakan PR dengan belum menyelesaikan RUU BHP yang sudah disebutkan oleh UU Sisdiknas sejak Tahun 2003, isi RUU yang menimbulkan polemik ini sangat berbahaya, jika pemerintah tidak siap menjadi regulator yang kuat dan lugas. Kepres 76 dan 77 tentang penanaman modal asing, mendorong pendidikan di Indonesia menjadi murni komoditas dan murni liberalisasi pendidikan yang akan menghacurkan cita cita konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa.

BIROKRASI MASIH TDK EFEKTIF & TIDAK AKUNTABEL

Birokrasi pemerintahan, apalagi birokrasi pendidikan,masih berkerangka fikir dan bersikap dengan kerangka usang. Demi menyenangkan atasan yang mentarget kelulusan murid dalam UN, masih banyak yang bersikap curang. Dana BOS masih disunat dan lambat disalurkan jika tidak diberi uang pelicin. Lambatnya pencairan anggaran membuat birokrasi tergesa membelanjakan dana, sehingga sangat sulit diharapkan hasil kerja bermutu tinggi. Birokrasi seperti ini,baik di diknas pusat dan daerah harus ditertibkan dan dikontrol dengan ketat dan diberi sangsi yang membuat jera. Oleh karena saat ini sangsi Guru PNS masih sangat lemah dan tidak mendorong etos produktif, sehingga kepala sekolah dan bahkan kepala dinas tidak mampu berbuat apa apa jika guru dengan golongan 4 berbuat ulah, sikap paling tegas hanyalah memindahkannya ke sekolah pinggiran.

Di dunia militer, jarang sekali jabatan panglima TNI dan pangkat bintang 4 tanpa prestasi di komando teritorial, sementara itu, kepala LPMP (d/h BPG) yang sudah naik pangkat minimal jadi bintang dua, tetapi masih mempraktekkan kultur usang BPG, sehingga mustahil penataran guru in servis bisa sukses. Dalam jangka 5 tahun Diknas harus mampu menjadikan LPMP sama bergengsinya dengan gengsi KomandoTeritorial dalam TNI dan agar bisa dilaksanakan dengan tepat, harus dibuat beberapa LPMP model untuk the best inservice training. Kepala LPMP yang sukses, berhak mendapat kredit besar menjadi calon dirjen dimasa datang.

Pungutan di sekolah negeri, meski sudah diatur masih tetap marak, agar pemerintah enteng, buatlah setidaknya Permen or Kepmen agar sekolah negeri wajib membuat laporan keuangan baku dan melaporkan pungutan tersebut kepada orangtua murid. Hal ini wajib dilakukan, karena sekolah negeri bukan subyek audit BPK, meski mematuhi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan hanya melaporkan UYHD (Uang Yang Harus Dipertanggungjawabk an) kepada Dinas Pendidikan setempat, sebagai unit yang menjadi subyek audit. Sekolah swasta punya aturan jelas, mereka harus mematuhi SAK Organisasi Nirlaba (Yayasan).

MUTU GURU

Sekitar 2,7 Juta guru di Indonesia,1, 5 juta merupakan guru SD/MI dan kurang dari 50% yang layak mengajar, sementara sisanya guru SMP/MTs dan guru SMA/SMK/MA hanya 65% yang layak mengajar (Pusat Data dan Informasi Pendidikan-Diknas 2004). Sementara itu, pemerintah selalu mengatakan kekurangan dana untuk memperbaiki mutu pendidikan indonesia, bisa jadi suara ini masih akan muncul sekalipun nanti anggaran pendidikan sudah 20% dari APBN. Hal ini terjadi karena birokrasi pendidikan masih saja bersikap mubasir dengan tetap menjalankan pola penataran Guru yang tidak diperlukan,tak menyenangkan dan boros.

Diknas harus mendorong upaya murah untuk memperbaiki mutu guru, salah satunya dengan mengumpulkan praktisi terbaik persekolahan dan menugasi mereka melatih guru dengan skenario pelatihan yang menyenangkan dan sesuai konteks lokal serta mendayagunakan sumberdaya lokal.

Sebagai contoh kemubasiran adalah, Pak Tjandra, seorang guru fisika berprestasi nasional dari SMAN 10 Malang adalah empu yang mampu membuat alat peraga dan laboratorium Fisika dari bahan murah dan bekas, Pak Tjandra menganggur tidak dimanfaatkan bahkan oleh Dindiknas kotanya sekalipun, meskipun dipuji setinggi langit oleh Profesor dari luarnegeri. Banyak warga terhomat seperti pak Tjandra di negeri ini, tetapi jika mereka dibajak negeri dunia ketiga yang lebih cerdik memanfaatkan keahlian langka seperti itu, pejabat Diknaslah yang paling berdosa.

Peningkatan mutu guru sebagaimana diamanatkan dalam UUGD harus dilaksanakan dengan konsisten dan terbuka. Jika kontrol lemah, ijasah D4 dan S1 bodong akan beredar luas dan pemegangnya berhak ikuti pendidikan profesi. Jika mutu pendidikan profesi buruk, bagaimana mungkin kita yakin lulusannya bermutu ? Rakyat berhak menuntut, karena Guru PNS yang akan dididik itu dibayar dengan anggaran negara yang dikumpulkan dari memungut pajak dari rakyat.

Simpang siur Ujian Nasional (UN) seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah melakukan kontrol dengan serius pelaksanaan Ujian Nasional. Janganlah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang baru disahkan dengan Permen Diknas No 22 sd 24 Tahun 2006 ikut carut marut lagi karena kelemahan kontrol birokrasi pemerintah. Jika KTSP ini masih tetap tidak tersosialisasikan dengan baik dan tidak dikontrol tuntas dalam pelaksanaannya, pengurangan beban kurikulum dan implementasinya, sudah pasti akan membingungkan guru dan kepsek yang cenderung koruptif, perilaku terang terangan menjual buku di sekolahpun tidak ditindak tegas, meskipun jelas menyalahi aturan mendiknas.

PARTISIPASI PUBLIK & PENDANAAN

Kerangka berpikir birokrasi pendidikan yang masih berorientasi biaya (cost centered), menjadikan berapapun anggaran yang tersedia selalu tidak cukup dan habis dibelanjakan. Padahal, jika mampu mendayagunakan potensi pebisnis yang sedang trendy dengan pola tanggungjawab sosialnya (Corporate Social Responsibility- CSR), maka banyak sekali kekurangan dana pendidikan tertutupi. Pemerintah harus mendorong DPR dan otoritas Keuangan untuk mengolah UU Pajak agar "fasilitas& quot; pajak dapat dipakai sebagai insentif agar perusahaan mau membantu pendidikan, apalagi UU Perseroan Terbatas (PT) yang baru sudah mewajibkan setiap perusahaan menyetorkan sebagian dana nya untuk CSR. Jika semua sumbangan kepada pendidikan menjadi pengurang pajak atau ada anasir pembiayaan pendidikan dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) di PPh, maka akan banyak dana yang langsung dibelanjakan di sektor pendidikan dan menutup tekor dana pendidikan.

Meskipun urusan perpajakan ini bukan tugas Depdiknas langsung, tetapi upaya pengarusutamaan pendidikan (Education mainstreaming) harus menjadikan mendiknas leader dalam upaya ini, jika tidak mampu dilaksanakan, mubasirlah punya mendiknas mantan menteri keuangan.

Namun, tentulah jangan biarkan CSR perusahaan semaunya belanjakan dananya dan semaunya pula memilih sektor sektor yang seksi dan mudah terlihat.Depdiknas harus siapkan cetakbiru "daftar belanja" program perbaikan pendidikan yang jelas, agar perusahaan dapat cepat dan tepat sasaran dalam berkiprah di gerakan perbaikan pendidikan. Ubah total tampilan situs elektronik www.diknas.go. id yang lambat dan tidak komunikatif dan miskin data itu, tampilkan dalam situs yang lebih interaktif dan mudah serta cepat diakses serta isi yang selalu terbarukan

Agar semua pihak melihat kemajuan aksi perbaikan pendidikan ini, berita kehumasan Depdiknas harus tegas ditangani satu pintu, dalam menyampaikan informasi harus efektif, jelas dan cakupan besar. Syarat lulus murid setingkat SMP/SMA yang pada dasarnya tidak hanya berpatokan pada nilai UN dan persyaratan sertifikasi Guru, menjadi contoh nyata ketidak jelasan informasi Depdiknas, sehingga tidak dimengerti awam dan jadilah UN dan Sertifikasi Guru sasaran tembak utama.

PENGHARGAAN

Penghargaan kepada insan pendidikan sudah sampai tahap kritis,sehingga bahasa indonesia memiliki kata sifat "menggurui& quot; yang diterima luas dan berkonotasi buruk, anehnya guru tidak pernah tersinggung dan protes. Hasil observasi di beberapa SMAN (SQIP-SF,2005) , penghargaan guru terhadap diri sendiri sangat rendah. Untuk mulai memperbaikinya, berilah penghargaan semua insan pendidikan, termasuk guru dan kepala sekolah melalui Education Award.

Meskipun Walikota dan Gubernur yang mampu menjadikan pendidikan di kotanya maju, sudah menerima anugerah ini, seharusnya demikian juga pengamat, aktivis pendidikan hingga media yang selalu peduli kepada isu pendidikan. Sewa humas handal hingga gaungnya melebihi hajatan Kementrian Lingkungan dalam Kalpataru dan Depdagri dalam Adipura, jika bisa melebihi acara seperti AFI atau Indonesian Idol. Acara Guru & Dosen Teladan yang diundang ke istana negara saja tidak cukup, meskipun acara ini harus dilestarikan.

PENDIDIKAN GURU

Setiap tahun ribuan mahasiswa diluluskan oleh institusi pendidikan yang sekarang disebut sebagai Lembaga Pengembang Tenaga Kependidikan (LPTK) Negeri dan Universitas, 98% menjadi guru. Jadi, siapakah yang bisa ingkar jika kita katakan bahwa LPTK LPTK dan Universitas yang sebelumnya bernama IKIP inilah penyumbang utama buruknya mutu pendidikan indonesia, karena mereka menyumbang guru yang bermutu rendah. Sehingga sebagai "pabrik& quot; Guru, LPTK mapan harus dievaluasi total kinerja internalnya, sistimnya, mutu dosennya dan semua hal terkait, karena merekalah institusi pendidikan tinggi paling strategis yang terlanjur menjadi penyumbang terbesar ketidakkompetenan guru indonesia saat ini. Oleh sebab itu, program revitalisasi pendidikan Guru di Indonesia yang di danai oleh Bank Dunia sebesar ribuan juta USD (Kompas,Des 2007) harus dikawal ketat, agar tidak mengulangi ke mubasiran program program sejenis sebelumnya.

Ketika saya berkunjung ke Universitas Negeri Jakarta-UNJ (d/h IKIP Jakarta), puluhan gedung kusam bekas pakai UI termasuk asrama mahasiswa Daksinapati masih berdiri kokoh, namun kurang terurus, kondisi ini membuktikan bahwa pemerintah memang berlaku tidak adil. ITS dan Airlangga lebih mentereng, UI dan ITB apalagi. Apakah mahasiswa UI dan ITB dulu membayar lebih mahal ? Tidak, UI dan ITB gedungnya sudah megah sebelum ditetapkan sebagai BHMN. Yang benar, LPTK telah disepelekan oleh pembuat kebijakan negeri ini, karena mereka hanya akan menghasilkan guru, bukan calon karyawan perusahaan Multi Nasional. Perlakuan ini lebih terasa lagi jika melihat akademi yang meluluskan calon tentara yang diwisuda di istana oleh kepala negara. Jika negeri ini memang peduli kepada pendidikan, urusan wisuda guru yang dihadiri presiden bukan perkara sulit.

Pemerintah harus memperlakukan LPTK yang sangat strategis ini lebih baik dari institusi PTN lain, karena tidak mungkin menuntut yang terbaik dengan perlakuan yang terburuk. Tekanan eksternal, seperti ketatnya birokrasi keuangan membuat LPTK makin ciut dan keropos.

Usulan dalam tulisan ini tidaklah sulit dikerjakan jika ada kemauan serius dari pemerintah untuk memperbaiki pendidikan negeri ini. Jika masih juga bekerja angin anginan sehingga program seperti ini tidak berhasil dilaksanakan, jangan salahkan jika rakyat akan berkata bahwa pemerintah dan legislatif sudah meleceng dari jalur konstitusi, karena semua upaya yang dikerjakan oleh pemerintah dan legislatif tidak menuju pendidikan yang mencerdaskan bangsa. Bangsa yang mandiri dan selalu memberikan arti kepada kehidupan dan trampil dalam hidup dan memuliakan kehidupan.

Saya yakin, jika jalan ini ditempuh, 15 Tahun lagi wajah bangsa ini akan mulai berubah.

Depok, Desember 2007
Ahmad Rizali (47)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar