Komitmen Pemerintah pada Iptek
Kamis,16 Juli 2009 15:39
Fajar Suprapto
Asisten Deputi Urusan Pengembangan Kelembagaan Deputi Bidang Pengembangan Sistem Iptek Nasional, Kementerian Negara Riset dan Teknologi
Pada 8 Juli 2009, Indonesia kembali memilih capres dan cawapres untuk periode pemerintahan mendatang. Salah satu faktor yang mendorong pemilih menetapkan pilihannya adalah program pembangunan yang dijanjikan masing-masing pasangan capres.
Keberpihakan dan perhatian capres dan cawapres pada pengembangan dunia penelitian atau ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), yang menjadi motor penggerak ekonomi dan kemajuan peradaban modern, perlu disorot masyarakat. Bila menengok ke belakang, perhatian pemerintah pada dunia riset untuk menggerakkan industri dan perekonomian terlihat nyata pada masa Presiden Soekarno hingga Presiden BJ Habibie. Setelah itu, perhatian pemerintah cenderung surut. Tidak ada pernyataan politis tentang visi dan misi pengembangan iptek dari para kepala negara pasca-Habibie. Alokasi anggaran untuk kegiatan riset pun terus menyusut.
Bahkan, belakangan ini, setelah adanya UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, muncul wacana, antara lain, tentang penggabungan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dengan Departemen Pendidikan Nasional dan mengubah status kementerian ini menjadi Departemen Riset dan Teknologi.
Lemahnya komitmen dan political will pemerintah pusat pada penelitian dan pengembangan iptek juga berimbas pada kebijakan kepala pemerintahan di daerah. Hal ini terlihat dari hilangnya badan penelitian dan pengembangan daerah (balitbangda) di banyak daerah. Hilangnya balitbangda adalah sebagai dampak keluarnya PP No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang di antaranya mengatur jumlah besaran organisasi perangkat daerah dan perumpunan urusan yang diwadahi. Pada penjelasan Pasal 22 Ayat 5 PP 41/2007 tertulis perumpunan beberapa urusan menjadi berbentuk badan. Dicontohkan, urusan perencanaan pembangunan digabung dengan urusan penelitian dan pengembangan.
Upaya meluruskan penafsiran tersebut telah dilakukan pemerintah melalui surat edaran Mendagri kepada para gubernur pada November 2007. Isinya, para gubernur diminta membentuk balitbangda. Yang sudah terbentuk diminta dipertahankan. Disebutkan pula, peran dan fungsi balitbangda sebagai pembuat kebijakan strategis untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dan melaksanakan tugas spesifik lain.
Guna menjalankan peran tersebut, balitbangda harus memperoleh dukungan anggaran yang memadai, sumber daya manusia (peneliti) yang mencukupi, dan pejabat birokrasinya harus memahami cara mengelola suatu penelitian. Tetapi, rupanya surat edaran Mendagri tersebut tidak digubris oleh para gubernur. Terbukti dengan penggabungan balitbangda ke dalam Bappeda di Provinsi Sumatera Barat dan Jawa Barat. Dengan demikian, jumlah balitbangda pada tingkat provinsi tinggal 18 unit kerja.
Sementara itu, beberapa balitbangda masih dalam skala yang minimalis, sejalan dengan lemahnya political will dari pemda setempat, sehingga menyulitkan bagi pengembangannya.
Perencana Kegiatan
Balitbanda sesungguhnya diperlukan sebagai perencana kegiatan penelitian dan pengembangan di daerah yang menjadi turunan dari kebijakan litbang di tingkat nasional. Dalam hal ini, balitbangda dapat diposisikan sebagai perumus masterplan sistem inovasi daerah (Sida) bersama-sama dengan Bappeda, pelaku litbang daerah, perguruan tinggi, industri, perdagangan, dan organisasi profesi. Sida terdiri dari sistem iptek daerah (siptekda) dan sistem industri dan perdagangan daerah (SIPD). Pembangunan daerah berbasis Sida akan berdampak meningkatkan daya saing, memicu pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Lebih lanjut, Sida dapat mendukung Sistem Inovasi Nasional (SIN) yang kokoh, memungkinkan tercapainya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pada suatu negara. Untuk mewujudkan Sida yang baik harus ada kerja sama yang harmonis antara pusat dan daerah. Tetapi, hal ini tampaknya belum disadari sepenuhnya oleh para pimpinan/ pemegang keputusan di daerah atau bahkan di pusat.
Keberadaan balitbangda di jajaran pemerintah daerah sejatinya memang harus memegang faktor kunci guna menyadarkan pengambil keputusan untuk menggunakan iptek. Sayang, litbang yang hakikatnya harus dihuni para pemikir hebat di beberapa daerah malah menjadi tempat pembuangan bagi staf yang sudah masuk kotak kariernya. Citra litbang yang dipelesetkan menjadi "sulit berkembang" pun makin melekat. Hal ini pula yang menyebabkan keberadaan balitbangda kurang bahkan tidak dihargai oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang lain.
Peneliti di beberapa balitbangda juga wajib bercermin. Sudah menjadi rahasia umum tenaga litbang berlakon bagaikan penghubung atau makelar. Mereka rajin membikin atau mencari proposal penelitian. Bila proposal "gol", proyek segera dilimpahkan ke berbagai pelaku litbang lainnya. Peneliti di balitbangda cukup ongkang-ongkang kaki, tak ada upaya untuk turut menggali pengetahuan.
Melihat permasalahan dan potensi kelembagaan yang menangani penelitian dan pengembangan dalam menghadapi tantangan masa depan, maka selayaknya jalan penyelesaian adalah pemberdayaan sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan tersebut, bukan sebaliknya.(Suara Pembaharuan,16Juli 2009/humasristek)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar