Selasa, 11 Agustus 2009

Pendidikan Pancasila sebagai Matakuliah Wajib Institusional

Pendidikan Pancasila sebagai Matakuliah Wajib Institusional

Posted by Mohammad Adib in Jatidiri and Characters

Terseret pada new liberalisme global, sistem pendidikan di Indonesia telah terperangkap pada paradigma tersebut yang menyebabkan pula jatidiri bangsa ditinggalkan dengan menanggalkan matapelajaran dan matakuliah Pendidikan Pancasila dalam kurikulum pendidikan nasional


Pendidikan Pancasila sebagai Muatan Wajib Institusional

Oleh: H. Mohammad Adib, MA.
Ketua Laboratorium Humaniora TPB (Tingkat Persiapan Bersama) dan Dosen Antropologi FISIP Universitas Airlangga

Kegalauan masih terasakan menyelimuti komunitas stakeholder dari puluhan para pengajar dan pemerhati Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) yang hadir dari Perguruan Tinggi (PT) Negeri/Swasta berbagai propinsi dan daerah di tanah air dalam Simposium Nasional III di Universitas Diponegoro Semarang pada 22-24 Mei 2006. Kegalauan itu bersumber utama dari rendahnya respons dan apalagi komitmen Depdiknas/Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti).Lima Profesor Doktor yang dihadirkan sebagai keynote speaker dan pembicara, yakni Prof. DR. Bambang Sudibyo (Mendiknas), Prof. DR. Koento Wibisono (UGM dan mantan Rektor UNS), Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc. (Rektor UNDIP), Prof. Dr. Amin Abdullah (Rektor UIN Yogyakarta), dan Prof. DR. Suharsimi Arikunto (UN Yogyakarta).Mendiknas/Dirjen Dikti yang diundang—meskipun panitia telah dengan menghadap langsung di kantornya—untuk berbicara dengan topik ”Peran Pendidikan Pengembangan Kepribadian dalam Penguatan Jatidiri Bangsa dan Nilai-nilai Kepemimpinan” menyatakan berhalangan hadir pada dua hari sebelum pelaksanaan acara (H-2). Mendiknas/Dirjen Dikti yang tidak hadir juga tidak mewakilkan serta tidak mengirimkan makalahnya. Implikasinya, dalam simposium ini tidak dapat mengklarifikasi berbagai hal yang prinsip berkaitan dengan kebijakan nasional terbaru tentang kurikulum di PT. Karenanya tidak heran apabila masih terjadi multi tafsir atas kejanggalan yuridis dalam kurikulum wajib di PT pasca penetapan UU no. 20/2003 tentang Sisdiknas.Yang disesalkan—dan menjadi kekecewaan para peserta, yang sempat juga dicuatkan secara vokal—sampai saat-saat berakhirnya pelaksanaan simposium ini adalah nihilnya komitmen dari kalangan Diknas/Dirjen Dikti. Seakan MPK ini dibiarkan begitu saja berlalu, ibarat lirik dalam lagu yang dilantunkan penyanyi Titiek Puspa, ”oh oh …… apa yang terjadi terjadilah …..”. Atau bahasa gaul orang Jakarte: EGP (Emang Gue Pikirin). Nah lhooh ….

PP 19 Tahun 2005

Sampai pada akhir sidang pleno dan acara penutupan simposium ini, suasana galau masih mengaromai terutama saat penyusunan naskah akademik untuk memantapkan matakuliah Pendidikan Pancasila sebagai bagian dari MPK dalam struktur yuridis nasional. Isi rekomendasi masih merujuk pada SK (Surat Keputusan) Dirjen Dikti nomor 038/U/2002 tentang MPK, bahwa MPK di PT mencakup Matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Ditambahkan bahasa saat mengacu pada UU no. 20/2003 tentang Sisdiknas.Kekeliruan yang cukup fatal dari para elit nasional—terutama keynote speakers dan narasumber—yang terlibat dalam simposium ini adalah bahwa tidak satupun dari mereka yang merujuk kepada kebijakan baru pasca penetapan UU no. 20/2003. Yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 (PP 19) Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan pada bulan Mei—genap berumur satu tahun saat simposium ini dilaksanakan.Adalah sudara Herry P dari ITS Surabaya salah seorang peserta yang dengan teguh mengangkat PP 19/2005 pada acara tersebut baik dalam sesi ceramah-dialog dan menegaskannya kembali pada Sidang Pleno saat penyusunan rekomendasi. Pada PP 19 pasal 9 ayat 1-4 ini diuraikan bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum PT dikembangkan oleh PT yang bersangkutan untuk setiap program studi; (2) Kurikulum tingkat satuan PT wajib memuat matakuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris; (3) selain ketentuan tersebut, kurikulum tingkat satuan PT Program Sarjana dan Diploma wajib memuat matakuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, serta matakuliah statistik dan atau matematika.Mendasarkan pada ketentuan yuridis yang ditetapkan pada tahun 2003 dan 2005 ini dapatlah dipahami jika muatan wajib nasional dan institusional (lokal) MPK adalah (1) Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia—meskipun dalam kedua ketentuan di atas tidak disebutkan lagi konsep MPK namun—dalam konteks pengembangan kepribadian atau jatidiri bangsa Indonesia, maka urgensinya terdapat pada keberadaannya dengan penekanan pada upaya menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan, serta pengkajian hasil-hasil karya sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya bangsa.

SK Dirjen Dikti

Simposium yang diselenggarakan dua tahunan—yang kali ke-3nya—ini mengusung tema ”Pendidikan Pengembangan Kepribadian: Mencermati berbagai Persoalan Kebangsaan dan Alternatif Solusinya dalam Perspektif Pendidikan Pengembangan Kepribadian” ini terasa kurang gregetnya karena nyaris sama sekali tidak mengacu kepada ketentuan actual yang berlaku. Kekeliruan mendasarnya terdapat pada nihilnya sosialisasi yang selayaknya dilakukan oleh Diknas/Dikti sendiri. Betapa PP 19/2005 itu telah ditetapkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 2005 Nomor 41 tanggal 16 Mei ini telah berumur satu tahun. Meskipun demikian, para petinggi di berbagai PT se-Indonesia—yang berkumpul di Semarang itu—nyaris belum mengetahui keberadaannya. Buktinya, para narasumber—begitu pula panitia pengarah—pun tidak tanggap ing sasmito untuk segera mengimplementasikannya sesuai dengan tema simposium.Sekiranya telah tanggap, merupakan peluang yang tinggi dan signifikan apabila stakeholder utama para pengelola MPK yang hadir dalam simposium itu juga membahas dan menjabarkan PP 19/2005 pasal 9 ayat 3 tentang ”kurikulum dan matakuliah wajib yang bermuatan kepribadian dan kebudayaan”. Sesungguhnya, merekalah stakeholders pengajar dan pengelola MPK yang memiliki kompetensi yang tinggi untuk menjabarkannya.

Muatan Wajib Institusional

Desas-desus yang berkembang—yang juga beredar dalam simposium ini—tidak lama lagi akan ditetapkan SK Dirjen Dikti sebagai kelanjutan UU nomor 20/2003 dan PP 19/2005. Diktum yang tidak boleh dilupakan adalah penetapan kurikulum dan matakuliah wajib baik yang bersifat nasional maupun institusional (lokal). Hendaknya secara eksplisit disebutkan antara lain Pendidikan Pancasila sebagai kurikulum wajib muatan institusional. Mengingat sejumlah tuntutan dari para stakeholders MPK dalam berbagai pertemuan nasional terus-menerus dinyatakan. Sejak ”Deklarasi Simpang” di Surabaya bulan Agustus tahun 2003, ”Deklarasi Padanaran” di Semarang bulan Februari 2004 dan dilanjutkan dengan seminar dan lokakarnya nasional di berbagai wilayah misalnya LP3JATIM (Lembaga Pembudayaan Pancasila dan Pembangunan Jawa Timur) tahun 2004, FKDP (Forum Komunikasi Dosen Pancasila) Jawa Tengah (2005) yang menegaskan kembali urgensi pencatuman Pendidikan Pancasila dalam sistem perundang-undangan nasional. Di Jawa Timur sendiri telah tegas dinyatakan oleh para rektor PTN dalam paguyuban mereka bahwa Pendidikan Pancasila merupakan bagian dari PULSE (Public University Link Service at East Java) sebagai matakuliah wajib institusional bersamaan dengan Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sampai ditulisnya artikel ini, di Universitas Airlangga sendiri masih menetapkan policynya tentang Pendidikan Pancasila sebagai muatan lokal yang harus diprogram di semua jurusan/program studi. Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan PTN/PTS besar lainnya juga masih menetapkan Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah wajib institusional. Rekomendasi yang dihasilkan dalam Simposium nasional III ini juga menegaskan lagi tentang hal tersebut. Yang pembobotannya setara dengan MPK lainnya. Telah sedemikian tegas dan berulang-ulang rekomendasi itu dikemukakan oleh stakeholder para pengampu MPK di tanah air ini yang hasilnya juga secara formal disampaikan ke Depdiknas dan pihak terkait. Tidak kurang juga telah disampaikan naskah akademik (academic reasoning)nya yang memuat landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kurang apa lagi dach…Jika saja SK Dirjen Dikti yang segera akan ditetapkan masih juga tidak mengeksplisitkan Pendidikan Pancasila dalam kurikulum muatan wajib institusionalnya, sungguh perluasan bebalisme bangsa ini justru menggaung di pusat Depdiknas RI.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar