Selasa, 11 Agustus 2009

Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia

Miskinnya (Kreativitas) Dalam Pendidikan di Indonesia

Social Add comments

Beberapa waktu belakangan ini saya jadi banyak berpikir (makin tua kali yee), kenapa kualitas pendidikan di Indonesia dalam kacamata komparatif saya sangat rendah. Saya perhatikan kualitas lulusan S1, (bahkan S2), akademi, sekarang sangat parah. Kacamata saya selaku pelaku ekonomi, calon employer, pengamat, dan sebagai masyarakat awam, kadang cuma bisa mengelus dada. Sedemikian rendahnya kah kualitas pendidikan kita sehingga lulusannya hampir semua dikategorikan tidak bermutu! Mengapa sampai bisa terjadi demikian? Apakah yang menjadi sebabnya? Dan bagaimana mungkin Indonesia bisa mengejar ketinggalannya dibandingkan negara-negara lain dengan kondisi demikian? (yang ada kata gue mah makin jauh gapnya )

Saya akan serahkan topik ini untuk menjadi bahan perenungan bersama, silahkan disimpulkan oleh masing-masing, terutama apabila kadang timbul rasa sedikit apatis, apa yang dapat dikontribusikan oleh masyarakat biasa seperti kita (disisi lain perimbangan akan perasaan ingin berkontribusi justru besar).

Here’s the hint: Kalo menurut pandangan saya sih, ada beberapa hal yang membuat kualitas pendidikan kita parah seperti sekarang. Diantaranya adalah : Rendahnya atmosphere kreatif dikembangkan di lingkungan didik di kampus/sekolah. Dari kecil sampe lulus kuliah, para siswa hanya dijejelin kurikulum. For what? Mereka bahkan tidak pernah tahu untuk apa, karena ya daya nalar dan sisi kreatifnya tidak pernah diasah (distimulus). Selama ini kita hanya dijejali tugas-tugas sekolah, itung-itungan, tanpa mengerti esensinya akan dipergunakan untuk kebutuhan real di dunia nyatanya sebagai apa. Exception? Ada. Dari sebagian kecil saja para pendidik yang cukup “creative” untuk berani tampil beda. The rest? Hmm tidak berani berexperiment atau mungkin ya karena dicocok dengan target kurikulum, dan bahkan tidak dibekali dengan kemampuan untuk menjadi seorang pengajar (Menjadi seorang pengajar itu tidak bisa otomatis bisa, bakat dan teknik harus ditularkan). Saya sendiri penganut aliran mencimplak dan praktek, dengan demikian mereka menjiwai apa yang dikerjakan.

Beberapa waktu yang lalu saya sedang bertugas ke luar negeri. Betapa mata batin saya tersentuh ketika menyaksikan puluhan anak-anak taman kanak-kanak sedang berlarian di bandara dan “diperkenalkan” dengan dunia oleh para pembimbingnya (yang lebih terkesan sebagai ibu-ibu rumah tangga). Oh. Kapan Indonesia bisa mengejar ketinggalan dibanding dunia lain, apabila kita tidak pernah merevolusi sistem belajar mengajar di dunia pendidikan kita. Salah satu cerita yang paling berkesan dari kaisar Hirohito yang ketika itu kalah perang setelah dibombardir bom atom Amerika adalah…. munculnya satu pertanyaan dari beliau “Berapa banyak guru kita yang tersisa?”. Sedemikian pentingnya posisi pendidik bagi suatu bangsa, kenapa tidak pernah menjadi perhatian serius bagi kita. Membangun generasi jauh lebih mulia demi kemajuan bangsa daripada mengurus persoalan lain yang cuma kental unsur politisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar